Akademisi UI Sebut Korupsi Kecacatan Moral dan Etika

Hairul Alwan Suara.Com
Senin, 22 April 2024 | 23:11 WIB
Akademisi UI Sebut Korupsi Kecacatan Moral dan Etika
Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Meutia Irina Mukhlis. [ANTARA/HO: Humas UI]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Salah satu Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Meutia Irina Mukhlis menyebut dalam deontologi teori filsafat moral yang menegaskan baik buruknya perilaku berdasarkan kewajiban praktik korupsi adalah suatu kecacatan dari segi moral dan etika.

"Korupsi, suatu tindakan yang oleh sistem etika manapun dinilai buruk atau tercela, namun telah menjadi suatu budaya di Indonesia. Ini menunjukkan adanya suatu distorsi dalam pemahaman kesadaran etika kita, di dalam budaya kita sendiri. Hal ini mengakibatkan suatu perbuatan tercela justru mendapatkan rasionalisasi dan kemudian dilanggengkan," kata Dr. Meutia Irina Mukhlis dikutip dari ANTARA, Senin (22/4/2024).

Berdasarkan sudut pandang filsafat, situasi tersebut mengindikasikan permasalahan yang sangat serius di Indonesia dalam hal korupsi. Kekuasaan tampaknya memanjakan sejumlah politisi, dan slogan-slogan untuk menyejahterakan rakyat di awal karier mereka akhirnya hanya tinggal kenangan.

"Ada sebagian pejabat atau orang-orang yang memiliki posisi bermartabat di masyarakat yang seharusnya memberikan teladan, cenderung terlibat dalam praktik korupsi," ungkapnya.

Kata dia, pihak yang tidak ingin ikut dalam praktik korupsi justru rentan terkena sanksi sosial, karena dianggap bukan 'team player'. Sementara mereka yang terlibat korupsi diberikan imbalan instan, seperti proyek hingga kenaikan jabatan.

"Ini menandakan bahwa pemahaman tentang kesadaran etika atau moral di Indonesia terbolak-balik, yang benar menjadi salah, sementara yang salah menjadi benar. Ini sebenarnya berbahaya sekali di jangka panjangnya. Kita begitu merendahkan atau menyepelekan nilai dari kebenaran, kejujuran, dan keadilan," ujarnya.

Dr. Meutia menilai negara yang memiliki budaya korupsi yang rendah, seperti Singapura, telah memiliki kesadaran hukum yang tinggi karena para pelanggar aturan akan dihukum secara tegas.

Lebih lanjut, pemerintah juga memiliki keseriusan dalam menjalankan negara dalam rangka memberikan pelayanan yang baik kepada rakyatnya. Akibatnya, rakyat merasakan manfaat yang diberikan oleh pemerintahnya dan dapat merasa bangga dengan pencapaian-pencapaian negaranya.

Menurutnya, sistem nilai yang buruk tidak akan pernah menghasilkan suatu bangsa yang maju dan kuat secara sehat. Dari sudut pandang filsafat, korupsi melemahkan ketahanan nasional, baik dari segi ekonomi, sosial, terutama moral. (ANTARA)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI