Suara.com - Anggota Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjadi salah satu hakim yang menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion terhadap putusan MK soal sengketa Pilpres 2024 yang diajukan paslon nomor urut 1 Anies-Muhaimin.
Arief dalam penyampaian dissenting oppinion-nya menyinggung soal demokrasi saat ini dinilai telah alami defisit.
Awalnya Arief menyampaikan bahwa Indonesia telah menggelar sejumlah Pemilu pasca jatuhnya rezim orde baru atau pasca reformasi. Pemilu dilakukan secara periodik setiap 5 lima tahun sekali, dimulai pada tahun 1999, tahun 2004, tahun 2009, tahun 2014, tahun 2019, dan pada tahun 2024 ini.
Ia mengakui jika Pemilu 2024 kali ini cukup kompleks diantara Pemilu lainnya.
Baca Juga: Heboh Putusan MK Tolak Gugatan Anies-Imin, Warganet: RIP Demokrasi
"Artinya, sudah enam kali mengadakan Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden. Bahkan Pemilihan Umum 2024 merupakan pemilihan umum serentak yang cukup kompleks," kata Arief dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2024).
Pemilu 2024 kali ini cukup kompleks, kata dia, karena diselenggarakan secara serentak pada hari yang sama untuk memilh Presiden dan Wakil Presiden, juga dilakukan untuk pengisian sebanyak 580 kursi anggota DPR, 2.372 kursi anggota DPRD Provinsi, 1.510 kursi anggota DPRD Kabupaten/Kota, dan sebanyak 152 kursi anggota DPD dan pada November 2024 akan ada 545 daerah yang menyelenggarakan Pilkada.
Menurutnya, dari pelaksanaan enam kali Pemilu dapat mengukur kadar kematangan atau tingkat maturitas demokrasi Indonesia. Bisa jadi, kata dia, pelaksanaan Pemilu 2024 ini mengarah pada titik defisit demokrasi yang mengkhawatirkan.
"Sebab, penyelenggaraan pemilhan umum yang adil dan dilaksanakan secara berkala acapkali dijadikan salah satu instrument untuk mengukur apakah kadar demokrasi kita semakin baik atau bahkan mengalami penurunan atau jangan-jangan tanpa disadari boleh jadi demokrasi kita saat ini mengarah pada titik defisit demokrasi yang mengkhawatirkan," tuturnya.
Pasalnya, kata dia, kekinian ternyata tampak jelas secara kasat mata adanya pelanggaran-pelanggaran yang bersifat fundamental terhadap prinsip-prinsip Pemilu.
"Sebab, telah ternyata tampak jelas secara kasat mata adanya pelanggaran-pelanggaran yang bersifat fundamental terhadap prinsip-prinsip Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945," pungkasnya.
Putusan
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan sengketa Pilpres 2024 yang diajukan kubu capres-cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Senin (22/4/2024).
Itu artinya, keputusan KPU soal hasil Pilpres 2024 di mana capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tetap berlaku.
Putusan MK tersebut disampaikan oleh Hakim Ketua, Suhartoyo dalam sidang yang digelar sejak pukul 09.00 WIB.
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Suhartoyo.
Dalam gugatannya, Anies-Cak Imin memohon kepada MK untuk membatalkan hasil Pilpres 2024.
Salah satu dalil yang diajukan keduanya ialah terkait status Gibran sebagai cawapres tidak sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023. Namun, MK menolak dalil tersebut.