Suara.com - Hari Raya Idul Fitri digunakan untuk bersilaturahmi ke tetangga, keluarga dan hingga para sahabat untuk bermaaf-maafan. Di waktu yang sama, umat Islam disunahkan melaksanakan puasa Syawal selama enam hari.
Pada situasi seperti ini, bisa saja sebagian Muslim bimbang saat tuan rumah kemudian menyuguhkan makanan. Apakah lebih baik puasanya dibatalkan untuk menghormati tuan rumah atau dilanjutkan?
Ustaz Ahmad Muntaha AM di laman NUOnline menjelaskan, sebaiknya ada komunikasi terbuka antara tamu dengan tuan rumah dengan memberi tahu bahwa sedang menjalankan puasa sunah Syawal.
Bila tuan rumah tidak keberatan dengan puasa tamunya, puasa Syawal dapat dilanjutkan. Sebaliknya, kalau tuan rumah merasa keberatan, membatalkan puasa dengan menyantap hidangan yang sudah disiapkan tuan rumah justru lebih utama.
"Kalau ia (tuan rumah) tidak berkeberatan, maka kita tetap berpuasa. Bila ia keberatan, maka lebih utama kita memakan hidangannya dan berpuasa di hari-hari bulan Syawal lainnya," ungkap Ustaz Ahmad, Selasa (16/4/2024).
Pendapat ini didasarakan pada teladan Nabi Muhammad ketika ada sebagian sahabat yang bersikukuh puasa sunah di tengah jamuan makanan.
Rasulullah kemudian menyuruhnya untuk membatalkan puasanya, kemudian mengganti di kemudian hari sesuai hadis riwayat yang berbunyi: Saudara Muslimmu sudah repot-repot (menyediakan makanan) dan kamu berkata, ‘Saya sedang berpuasa?’ Batalkanlah puasamu dan qadha-lah pada hari lain sebagai gantinya. (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).
Menurut Ustaz Ahmad, berdasarkan hadis ini para ulama kemudian merumuskan, ketika tuan rumah keberatan atas puasa sunah tamunya, maka hukum membatalkan puasa sunnah baginya untuk menyenangkan hati (idkhalussurur) tuan rumah adalah sunah karena perintah Nabi dalam hadis tersebut.
Bahkan, dalam pendapat yang dikemukakan Sayyid Abu Bakar bin Syatha Ad-Dimyathi dalam karyanya, I’anatut Thalibin menyatakan jika pahala membatalkan puasa lebih utama daripada pahala berpuasa.