Suara.com - Pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid menyatakan amicus curiae atau sahabat pengadilan di penghujung sidang Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk intervensi peradilan.
"Terkait dengan fenomena beberapa pihak mencoba untuk mengajukan diri sebagai amicus curiae di penghujung sidang, saat majelis hakim MK telah melakukan rapat permusyawaratan hakim (RPH) adalah bentuk lain dari sikap intervensi pada lembaga peradilan MK, yang dibingkai dalam format hukum amicus curiae," kata Fahri Bachmid, Rabu 17 April 2024.
Secara terminologi hukum dan praktik lembaga peradilan umum, kata dia, friends of the court atau sahabat pengadilan, dari aspek fungsi sejatinya adalah amicus curiae, sebagai pihak atau elemen yang merasa berkepentingan pada suatu perkara yang sedang diperiksa dan memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan.
Keterlibatan pihak atau elemen yang berkepentingan dalam sebuah perkara tersebut, menurut dia, hanya sebatas memberikan opini.
Baca Juga: Tak Mau Kalah dengan Megawati, 10 Ribu Pendukung Prabowo-Gibran Akan Mengajukan Amicus Curiae ke MK
Praktik penggunaan pranata amicus curiae secara generik, lanjut dia, biasanya pada negara-negara yang menggunakan sistem common law. Sementara itu, tidak terlalu umum pada negara-negara dengan civil law system, termasuk Indonesia.
"Akan tetapi, pada hakikatnya praktik seperti itu tidak dilarang jika digunakan dalam sistem hukum nasional kita," ujarnya.
Menurut dia, secara yuridis, konsep amicus curiae di Indonesia adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
"Secara praksis hukum, sesungguhnya praktik amicus curiae lebih condong dipraktikkan pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung," ungkapnya.
Menurut dia, pelembagaan amicus curiae secara samar-samar sesungguhnya dapat dilihat serta dipraktikkan dalam persidangan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca Juga: Diajukan Megawati, Hakim MK Dalami Amicus Curiae dalam Sengketa Pilpres 2024
Berdasarkan ketentuan hukum acara MK, pihak ketiga yang berkepentingan bisa mendaftarkan diri dan memberikan pendapat dalam pengujian undang-undang judicial review.
Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK, serta Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara dalam Penyelesaian Sengketa Pemilihan Presiden, sama sekali tidak dikenal adanya pranata hukum amicus curiae.
"Pada dasarnya hakim MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara konstitusi, termasuk memutus sengketa PHPU pilpres, sandarannya adalah konstitusi serta fakta-fakta hukum yang secara terang benderang telah terungkap di dalam persidangan yang digelar secara terbuka untuk umum," katanya.