Suara.com - Hari Raya Idul Fitri 1445 H usai sudah. Kini umat muslim di dunia mulai memasuki bulan Syawal. Tradisi yang dilakukan usai Idul Fitri ini juga dikenal sebagai kegiatan Syawalan.
Sebagian besar umat muslim di Indonesia, khususnya Pulau Jawa masih melakukan tradisi Hari Raya Ketupat ini, tepatnya seminggu setelah Idul Fitri.
Masyarakat Jawa melambangkan perayaan tradisi Hari Raya Ketupat ini sebagai simbol kebersamaan. Biasanya, ketupat yang sudah ditata dalam wadah langsung dibawa ke tempat kenduri, atau bisa juga hanya diantar ke rumah-rumah warga.
Bukan hanya ketupat saja yang dibawa, namun juga ada sayur sambal goreng dan bubuk kedelai. Ketupat yang dibawa ke tempat kenduri akan didoakan Bersama oleh warga, sama halnya dengan filosofi ketupat itu sendiri, yakni mengaku lepat atau salah kepada Allah SWT.
Baca Juga: 1.835 Kecelakaan Terjadi di Masa Arus Mudik Lebaran 2024, Polri: Turun 15 Persen
Seperti yang diketahui, filosofi ketupat ini berasal dari kata “Ketupat” atau “kupat” dalam Bahasa Jawa berarti “ngaku lepat” atau “mengakui kesalahan”.
Dengan adanya ketupat ini, sesama muslim diharapkan mengakui kesalahan dan saling memaafkan. Selain itu, bungkus ketupat yang terbuat dari janur kuning juga melambangkan penolak bala bagi orang Jawa.
Bentuknya yang segi empat mencerminkan prinsip “kiblat papat lima pancer” yang bermakna bahwa kemanapun manusia menuju, pasti selalu Kembali pada Allah.
Sementara itu, Sejarah Hari Raya Ketupat sendiri bermula dari sang walisongo, Sunan Kalijaga. Masyarakat Jawa percaya bahwa Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan ketupat.
Menurut budayawan Zastrouw Al-Ngatawi, tradisi ketupat ini muncul di era walisongo dengan memanfaatkan tradisi slametan yang sudah berkembang di kalangan Masyarakat Nusantara.
Baca Juga: Niat Puasa Sesudah Idul Fitri, Bacaan Arab, Latin dan Terjemahannya
Tradisi ini kemudian dijadikan sebagai sarana untuk mengenalkan ajaran islam mengenai cara bersyukur kepada Allah SWT, bersedekah dan bersilaturrahim di hari lebaran.