Suara.com - Pemberitaan salah satu media Israel bikin gaduh Indonesia. Media Israel Haaretz menurunkan pemberitaan perihal rencana pemerintah Indonesia untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Dalam ulasannya, Haaretz mengklaim adanya komitmen dari pemerintah Indonesia untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Media Israel itu menyinggung bahwa rencana itu juga berdasarkan keinginan Indonesia untuk bisa gabung dengan OECD.
Untuk informasi, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD merupakan organisasi ekonomi yang menganut pasar bebas dan memiliki 38 anggota dan Israel salah satunya.
Baca juga:
Baca Juga: Indonesia Disebut Buka Hubungan Diplomatik dengan Israel, Ini Penjelasan Kemlu
"Indonesia Commits to Establishing Diplomatic Ties With Israel for First Time in History," tulis judul pemberitaan Haaretz yang dipublikasikan pada 11 April 2024.
Reportase yang bikin gaduh Indonesia ini sendiri ditulis oleh jurnalis Haaretz, Jonathan Lis. Dalam reportasenya itu, Jonathan Lis menuliskan bahwa Indonesia bersedia untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel demi bisa masuk ke OECD.
"Indonesia bersedia menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, Sekjen OECD Mathias Cormann telah memberitahukan informasi itu kepda Menlu Israel, Israel Katz pada Kamis minggu lalu," tulis Jonathan Lis.
Tak hanya itu, Jonathan Lis dalam pemberitaan juga menyebutkan bahwa meski Indonesia tak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, namun sejak Perjanjian Oslo pada 1993 telah memiliki hubungan terselubung, utamnya di sektor ekonomi.
Baca juga:
Baca Juga: Akan Balas Serangan Israel, Iran Minta Amerika Tak Ikut-ikutan
"Meski Indonesia tidak mengakui Israel secara resmi, namun sejak Perjanjian Oslo 1993, kedua negara telah menjalin hubungan terselubung, utamnya di sektor ekonomi,"
"Mantan PM Yitzhak Rabin bahkan mengunjungi Indnonesia pada 1993 dan mantan PM Shimon Peres pada 2000 juga berkunjung ke negara tersebut saat masih menjabat sebagai menteri kerjasama regional,"
Sontak saja pemberitaan dari Haaretz menimbulkan kegaduhan di Indonesia. Media Israel Haaretz sendiri dikutip dari laman resmi mereka sudah berdiri sejak 1919.
Media ini berdiri di Yerusalem dan didirikan oleh sekelompok imigran Zionis, yang sebagian besar tinggal di Rusia.
Di awal berdiri, redaksi media ini sempat diisi oleh Ze'ev Jabotinsky, penulis sekaligus pendiri Legiun Yahudi-- organisasi semi militer orang Yahudi di angkata bersenjata Inggris di era Perang Dunia I.
Lalu ada juga nama Ahad Ha'am, wartawan yang dikenal sebagai salah satu pemiki Zionis dan sempat berkonflik dengan pendiri negara Israel, Theodor Herzl.
Di awal tahun berdirinya Haaretz, Ahad Ha'am menjadi kontributor tetap dengan mengirimkan tulisan tentang gerakan zionisn di tanah Palestina.
Pada 1922, media ini pindah ke Tel Aviv. Pada 1935, media ini kemudian mendapatkan pasokan kertas dari penguasah asal Jerman yang juga dikenal sebagai tokoh zionis, Salman Schocken.
Putra Salman, Gershom pada 1939 kemudian ditunjuk menjadi pemimpin redaksi media ini. Lalu putrar Gershom, Amos yang menuruskan jabatan itu dan digantikan oleh Hanoch Marmari dari 1990 hingga April 2004.
Bantahan Kemenlu Indonesia
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri RI menepis kabar Indonesia akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel untuk bergabung dengan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), sebagaimana pemberitaan yang kini ramai.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhamad Iqbal dalam keterangannya, menegaskan tidak ada rencana Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
"Terkait isu pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel, saya tegaskan bahwa hingga saat ini tidak ada rencana untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, terlebih di tengah situasi kekejaman Israel di Gaza saat ini," kata Iqbal, dikutip Jumat (12/4/2024).
Ia menyampaikan posisi Indonesia tidak berubah dan tetap kokoh mendukung kemerdekaan Palestina dalam kerangka two-state solution.
"Indonesia akan selalu konsisten, berada di garis terdepan membela hak-hak bangsa Palestina," kata Iqbal.
Sementara itu, mengenai keanggotaan Indonesia di OECD, Iqbal menegaskan proses keanggotaan Indonesia akan memakan waktu cukup panjang. Ia berujar peta jalan keanggotaan berdasarkan rencana akan diadopsi pada Mei mendatang.
"Dan dalam roadmap itu banyak sekali hal yang harus dipersiapkan Indonesia," ujar Iqbal.
Bukan hanya memakan waktu yang panjang saja, melainkan setiap negara juga memerlukan waktu berbeda untuk menyelesaikan proses keanggotaan penuh di OECD.
"Semua tergantung kesiapan negara tersebut. Beberapa negara memerlukan waktu 3 tahun, beberapa lagi memerlukan lebih dari 5 tahun," kata Iqbal.