Suara.com - Platform media sosial X diramaikan dengan cuitan tentang Indramayu. Cuitan tentang Indramayu pada Sabtu (6/4) malam di-posting sebanyak 2540 kali.
Cuitan Indramayu ternyata berkaitan dengan aksi warga lokal membawa sapu lidi yang berjejer di sekitar Jembatan Sawo yang berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Subang di Jalur Pantura, Jawa Barat.
Aksi warga lokal itu untuk mendapatkan uang koinan dari para pemudik yang melintas selama mudik Lebaran. Seperti mudik di tahun-tahun sebelumnya, aktifitas para penyapu lidi kembali muncul jelang Lebaran 2024.
Baca juga:
Para warga lokal itu meminta uang dari para pemudik yang melintas dengan melambaikan sapu lidinya. Di platform media sosial X, sejumlah netizen menyayangkan aksi para warga lokal tersebut.
"Kesel banget sih lihat video ini," tulis salah satu netizen mengomentari video aksi pengemis sapu lidi seperti dikutip.
"Gara-gara orang ini banyak orang Indramayu yang malu," kata lainnya.
"Jujur di daerah kampungku juga masih ada sih, tapi kalau udah sebanyak ini jatohnya udah ganggu," kata lainnya.
Beragama komentar pro dan kontra juga terpantau dituliskan para netizen di platform media sosial X.
Baca Juga: Ramai Tagar Indramayu di Twitter, Pengemis Sapu Lidi Banjir Kritikan Publik
Namun, ada cerita menarik dari aktifitas warga lokal di Jembatan Sawo yang menyapu dengan sapu lidi jelang mudik Lebaran 2024.
Baca juga:
Cerita ini menjadi mitos kuat yang mengakar bagi warga lokal. Mereka yang ikut menyapu di sepanjang jembatan Sawo itu tidak hanya orang muda, tapi juga anak kecil hingga orang tua.
Mengutip dari laporan Antara, mitos itu sangat dipercaya oleh warga lokal. Mitos ini bermula saat kecelakaan maut yang menimbulkan banyak korban ketika mobil yang sarat penumpang terjun ke sungai.
Warga lokal kemudian mempercayai sosok tak kasat mata berkeliaran dan mengganggu mereka yang melewati jalan tersebut.
Sejak itu, dan tidak diketahui secara pasti kapan dimulai, pengendara mobil yang akan melewati jembatan Kali Sewo memberikan sesuatu dan biasanya dalam bentuk uang agar tidak diganggu, aman dan bebas dari kecelakaan.
Lama kelamaan, biasaan yang hanya dilakukan segelintir orang itu berubah menjadi tradisi dan dilakukan setiap hari, sehingga menjadi penghasilan sampingan warga sekitar yang sebagian besar adalah petani.
Menurut salah satu warga lokal bernama Suparto, momen mudik lebaran menjadi waktu panen bagi mereka. Dalam satu hari biasanya mereka bisa mengumpulkan Rp150 ribu dari recehan, sementara pada hari biasanya paling banyak hanya Rp50 tibu.
Tradisi tersebut tampaknya sulit untuk dilarang meski berbahaya karena pengemis yang terlalu sibuk menyapu uang recehan bisa tertabrak oleh kendaraan yang melintas.