Suara.com - Sebanyak 40 lembaga swadaya masyarakat dan individu yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil melaporkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaran Pemilu 2024 pada Rabu (3/4/2024).
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya Saputra yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan, laporan itu merupakan lanjutan atas dua somasi yang tak direspons Presiden Jokowi pada 9 Februari dan 7 Maret 2024.
"Berkenaan dengan proses atau pelaporan yang kami layangan ke Ombudsman terkait dengan dugaan maladministrasi Presiden Jokowi itu konteksnya adalah terkait dengan kecurangan Pemilu 2024, dan juga terkait dengan penyelenggaran Pemilu yang jauh dari prinsip jujur, bersih, dan adil," kata Dimas saat dihubungi Suara.com.
Baca Juga:
- Koalisi Masyarakat Sipil Gugat Jokowi Beri Pangkat Jenderal Kehormatan ke Prabowo: Menentang Nawacita!
- Koalisi Sipil Tuding Rezim Jokowi Sengaja Bajak Pemilu 2024 Untuk Muluskan 3 Agenda Ini
Dalam laporan, mereka menemukan dugaan maladministrasi yang diduga dilakukan Jokowi terkait penyelenggaraan Pemilu 2024.
Pertama, perbuatan yang masuk dalam kategori deceitful practice, yaitu praktek-praktek kebohongan, tidak jujur terhadap publik mengakibatkan masyarakat disuguhi informasi yang menjebak dan tidak sebenarnya untuk kepentingan birokrat.
"Hal tersebut salah satunya terlihat dari pernyataan seorang presiden hingga para menteri ‘boleh kampanye, boleh memihak’ selama gelaran Pemilihan Umum (yang disampaikan) pada 24 Januari 2024," ujar Dimas.
Menurutnya pernyataan menimbulkan permasalahan, Pemilu 2024 harusnya diselenggarakan dengan menjujung tinggi etika sebagai pejabat publik.
"Nah ditambah lagi kami juga melihat bahwa dalam konferensi persnya yang mengutip pasal Pasal 299 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengenai, presiden dan wakil Presiden yang memiliki hak untuk berkampanye. kami melihat ini sebagai sebuah proses atau informasi yang salah yang disampaikan kepada publik, sehingga ini melahirkan satu permasalahan juga di publik dan sebagainya," terang Dimas.
Dugaan maladministrasi selanjutnya berkaitan dengan unethical behavior atau perilaku yang buruk. Jokowi mereka nilai menabrak batas etis dengan mempolitisasi bantuan sosial atau bansos.
"Bagaimana kemudian penggunaan alat negara atau fasilitas negara yakni bansos yang harus digunakan sepenting-pentingnya bagi kemaslahatan masyarakat. Tapi kemudian diduga punya suatu motif politik elektoral, atau motif elektoral yang pada akhirnya menguntungkan salah satu paslon capres cawapres," kata Dimas.
Ketiga, mereka menduga Jokowi melakukan maladministrasi berupa pengabaian hukum atau disregard of law. Salah satunya tanggung jawab presiden dalam pelaksanaan Pemilu sesuai dengan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebut, 'bahwa presiden itu harus bisa menjamin Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.'
"Nah sekarang kita lihat dalam pelaksanaan Pemilu ada Perpres Nomor 53 tahun 2023 yang kemudian menjadi salah satu peraturan yang juga digunakan atau disalahgunakan untuk kepentingan elektoral.Jadi menteri-menteri aktif atau kepala daerah aktif kemudian bertindak juga sebagai juru kampanye terhadap beberapa calon presiden dan wakil presiden," ujarnya.
"Tentu hal ini merusak tata kelola Pemilu yang bersih jujur dan adil. Dann kemudian tidak bisa menjamin adanya penggunaan fasilitas negara atau aset negara dalam konteks Pemilu 2024," Dimas menambahkan.
Atas hal itulah mereka melayangkan laporan ke Ombudsman dan meminta agar segera dilakukan penyelidikan maladministrasi yang diduga dilakukan Jokowi sebagai kepala negara.
"Kami mendorong Ombudsman untuk segera melakukan penyelidikan atau investigasi sesuai dengan mandat dan juga tanggung jawabnya," kata Dimas.
"Sehingga terjadi satu mekanisme korektif atau mekanisme perbaikan terhadap tata kelola pelaksanaan Pemilu, sekaligus juga bisa digunakan sebagai upaya untuk menghukum atau menyatakan bahwa para pejabat publik termasuk presiden itu telah bersalah dalam penyelenggaraan pemilu 2024," sambungnya.