"Kode etik yang sekarang ini yang diperintahkan oleh Undang-Undang. Itulah yang diadili yang menjadi dasar untuk mengadili. Apa Romo bisa membedakan antara norma dalam filsafat dan norma etik yang dibentuk atas suatu UU yang kedudukannya tidak akan lebih tinggi dari UU sendiri?" lanjutnya.
Yusril juga mempertanyakan apakah pelanggaran etika dalam filsafat akan memengaruhi pada penyelenggaran negara.
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan itu, Romo Magnis pun menjelaskan secara singkat. Ia menyatakan bahwa etika dalam filsafat berkaitan dengan etika hukum.
Romo Magnis menilai etika bahkan menjadi penyatu masyarakat Indonesia.
"Tentu bagi Indonesia etika, kesadaran atas nilai sejak permulaan merupakan slaha satu unsur yang mempersatukan suatu masy yg amat majemuk. Mulai dari penolakan penjajahan, kesetiaan saling menghormati dalam pancasila," kata Magnis.
"Apakah ada perbedaan etika dengan etika dalam kerangka hukum? Tentu tidak," sambungnya.
Romo Magnis menjelaskan dalam praktik hukum dan tata negara, tidak semua aturan tertulis. Salah satunya etika.
"Suatu ketentuan etis yang tidak dirumuskan dalam hukum memang tidak bisa ditindak oleh yudikatif, itu unsur untuk menilai, unsur bagaimana seseorang atau lembaga dinilai," terangnya.
"Pelaksanaan para hakim harus berdasarkan UU. Apakah hakim perlu mendassrkan diri pada ketentuan hukum yang harusnya diketahui, tidak berarti ada susunan resmi tidak boleh dipakai. Sekurang-kurangnya kita mempunyai HAM yang Undang-Undang kita. Diharapkan dan disadsri bahwa etika masuk ke dalam hukum," imbuhnya.
Diketahui, tim hukum Ganjar-Mahfud menghadirkan 9 ahli dan 10 saksi fakta dalam sidang pembuktian pemohon yang beragendakan mendengarkan keterangan ahli dan saksi pemohon serta pengesahan alat bukti tambahan pemohon.