Suara.com - Sebuah video menarasikan Jakarta mengalami kelumpuhan akibat gempa megathrust sempat viral di TikTok. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati membantah narasi tersebut.
Bantahan itu disampaikan Dwikorita, karena dalam video yang viral turut menyertakan pernyataannya.
Baca Juga:
Mantan Istri Dedi Mulyadi Bagikan Momen Persiapkan Menu Buka Puasa Pertama: Bareng Suami Baru
Baca Juga: BMKG Ungkap Potensi Hujan Ekstrem di DKI Jakarta Sepekan ke depan, Waspada Banjir!
Usai Tak Lolos Pileg 2024, Jansen Demokrat: Mungkin 99 Persen Caleg Terpilih Karena Politik Uang
Kantor hingga Rumah Digeledah, Uang Puluhan Miliar Milik Crazy Rich Helena Lim Disita Kejagung
Padahal, pernyataan Dwikorita yang terdapat dalam video itu sengaja dipotong sehingga membuat masyarakat menjadi resah.
Ia lantas menjelaskan, pernyataan yang dimaksud pernah disampaikannya saat rapat dengar pendapat dengan Komisi V DPR RI pada Kamis (14/3/2024).
"Saya tengah memberi penjelasan kepada anggota dewan mengenai alasan perlunya pembangunan Gedung Operasional Peringatan Dini Tsunami atau Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) di Bali," kata Dwikorita dalam keterangannya, Sabtu (16/3/2024).
Baca Juga: Belajar Dari Angin Kencang Bak Tornado Di Rancaekek, Waspada Puting Beliung Maret-April
Kemudian, Dwikorita menekankan, lumpuh yang ia maksud dalam video itu yakni terputusnya jaringan komunikasi yang disebabkan rusaknya berbagai infrastruktur komunikasi seperti Base Transceiver Station (BTS) akibat gempa megathrust.
Hal ini lah yang coba diantisipasi BMKG dengan membangun Gedung Operasional Peringatan Dini Tsunami atau InaTEWS di Bali, meskipun di Jakarta sudah ada.
Keberadaan gedung InaTEWS di Bali ini sebagai bagian dari mitigasi dan manajemen risiko dalam kondisi darurat apabila sewaktu-waktu operasional InaTEWS di Kemayoran Jakarta mengalami kelumpuhan.
Hal tersebut didasari pada skenario terburuk yaitu jika gempa terjadi di lepas pantai Samudra Hindia pada jarak kurang lebih dari 250 kilometer dari tepi pantai.
Dalam skenario terburuk tersebut, lanjut Dwikorita, gempa megathrust berkekuatan M 8,7 melumpuhkan operasional InaTEWS BMKG di Jakarta, karena terputusnya (lumpuhnya) jaringan komunikasi, ataupun robohnya Gedung Operasional lama yang tidak disiapkan tahan gempa.
“Maka sebagai upaya Manajemen Risiko demi keberlanjutan operasional sistem Peringatan Dini, Gedung Operasional InaTEWS yang lama perlu dibangun kembali dengan standar bangunan tahan gempa dan tahan likuifaksi. Bangunan yang saat ini ditempati merupakan bekas Gedung Bandara Kemayoran yang dibangun di tahun 1980 an,” ujarnya.
“Sementara Gedung Operasional Cadangan yang ada di Denpasar perlu disiapkan dengan desain khusus Tahan Gempa. Gedung di Bali sebagai backup jika sewaktu-waktu InaTEWS yang di Jakarta benar-benar mengalami kelumpuhan,” sambungnya.
Dwikorita berharap dengan adanya penjelasan tersebut dapat meredakan rasa khawatir masyarakat akibat beredarnya potongan video pada aplikasi TikTok tersebut, dengan narasi yang tidak sesuai konten dan konteksnya.
Ia juga berharap masyarakat lebih jeli dan hati-hati, tidak menelan mentah-mentah isu atau kabar dari media sosial.
“Pastikan informasi yang diperoleh hanya dari BMKG. Karena hanya BMKG lah satu-satunya lembaga pemerintah yang diberi kewenangan dan tugas di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika,” pungkasnya.