Suara.com - Pengamat politik Universitas Hasanuddin Makassar Prof phil Sukri Tamma menilai Jokowi butuh partai politik untuk menyelamatkan karir politik putranya, Gibran Rakabuming Raka. Salah satu partai yang bisa diambil alih adalah Golkar.
Golkar dinilai lebih realistis bagi Jokowi. Terlebih hubungannya dengan PDIP belakangan ini kurang harmonis.
"Apalagi Gibran sebagai Wakil Presiden nanti karirnya masih sangat panjang, usianya masih mudah, dan tentu butuh dikawal. Awalnya saya melihat PSI, tapi kan kondisi PSI saat ini masih belum jelas dan tidak diperhitungkan di konstelasi politik. Nah, karena itu Golkar jadi salah satu partai yang bisa menyelamatkan, apalagi pencapaian Golkar sekarang ini cukup mentereng di Pemilu 2024 dan punya pengaruh yang besar," ujar Sukri, Kamis, 14 Maret 2024.
Menurut Sukri, jika Jokowi ke Golkar maka karirnya di dunia politik akan lebih tenar. Termasuk bisa menjamin karir Gibran tidak hanya mentok di posisi Wakil Presiden RI.
Baca Juga: Golkar Bakal Menang Banyak Jika Jokowi Bergabung, Anaknya Otomatis Ikut Merapat?
"Karena kita tahu Jokowi sendiri saat ini dengan PDIP tidak baik-baik saja, sehingga jika mengharap dukungan PDIP akan sulit karena pengaruh Megawati sangat kuat sekali di sana. Sementara Jokowi butuh jaminan untuk karir politiknya dan Gibran. Oleh karena itu Golkar jadi salah satu opsinya," kata Sukri.
Bergabungnya Jokowi juga bisa semakin meningkatkan elektabilitas partai berlogo pohon beringin itu. Namun, di satu sisi tentu ada gonjang-ganjing di internal kader.
Kata Sukri, tidak semua kader bisa menerima kehadiran Jokowi masuk ke Golkar, apalagi jika mengincar kursi ketua. Menurutnya, partai yang dipimpin Airlangga Hartarto itu dikenal punya kaderisasi yang terstruktur dan berpedoman teguh ke anggaran dasar anggaran rumah tangga.
"Tentu kader senior menganggap ini polemik karena Golkar ini sejak dulu diketahui penjenjangan karirnya sangat terstruktur dan jelas. Di dalam AD/ART Golkar kan untuk jadi ketua paling tidak pernah jadi kader sekian tahun, sementara Jokowi selama ini bukan kader partai. Nah, jika terjadi, tentu melanggar AD ART walaupun bisa jadi ada pengecualian karena Golkar pernah melakukan seperti itu terhadap beberapa tokoh yang ingin direkrut," jelasnya.
Pengaruh Jusuf Kalla
Baca Juga: Jokowi Ambil Alih Golkar? Rocky Gerung: Cara Politik Busuk Kayak Moeldoko
Situasi ini, kata Sukri yang dikhawatirkan sejumlah kader Golkar seperti Jusuf Kalla.
"Saya lihat JK tentu tidak ingin pengaruhnya di Golkar hilang. Bagaimana pun juga JK adalah salah satu tokoh di Golkar yang pernah membesarkan partai. Namun dalam situasi ini pengaruh Ketua Umum yang sangat besar dan gelagatnya juga sudah terlihat karena ada upaya untuk mempercepat Munas Golkar," ucap Guru Besar Studi Demokrasi itu.
Sebelumnya, Jusuf Kalla mengatakan menyambut baik siapa pun yang hendak bergabung ke partai Golkar. Asalkan mengikuti mekanisme.
Seperti jika ingin menjadi ketua umum partai, maka wajib menjadi kader selama 5 tahun.
Namun, dari informasi yang berhembus, ada upaya dari tokoh senior Golkar untuk menghadang Jokowi bergabung ke Golkar. Kabar itu bergulir setelah Jusuf Kalla atas nama Golkar berencana menemui ketua Umum PDIP, Megawati.
Hal tersebut diungkap mantan Sekjen Golkar, Idrus Marham. Tapi menurut Idrus, JK tidak berhak menemui Megawati tanpa mandat dari ketua umum partai.
"Dalam kapasitas apa JK bicara atas nama Golkar? kecuali ada mandat dari ketua umum (Airlangga). Tapi kalau tidak ada, maka sangat tidak etis," ungkapnya.
Kata Idrus, dari struktur partai Golkar, JK saat ini tidak menempati posisi strategis.
"Kita semua tahu Ketua umumnya adalah Airlangga, Dewan Kehormatan Akbar Tanjung, Dewan Penasehat Luhut Binsar, Ketua Pembina Aburizal Bakrie, Dewan Pakar Agung Laksono, dan Dewan Etik ada Hatta. Jadi dalam kapasitas apa JK bicara atas nama Golkar?" kata Idrus.
Kontributor : Lorensia Clara Tambing