Suara.com - Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut mengatakan, perbedaan penetapan awal puasa atau 1 Ramadhan 1455 Hijriyah merupakan hal biasa. Sehingga tidak perlu menjadi masalah di masayrakat.
"Saat ini kita ketahui bahwa ada beberapa perbedaan dan itu lumrah saja. Namun kita harus tetap saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi sehingga tercipta suasana yang kondusif," kata Yaqut usai mengumumkan penetapan awal Ramadhan 2024 di Kemenag, Jakarta Pusat, Minggu (10/3/2024).
Pemerintah melalui Kementerian Agama atau Kemenag RI telah menetapkan 1 Ramadan 1445 H atau awal puasa Ramadhan 2024 jatuh pada Selasa (12/3/2024).
Yaqut mengatakan penetapan awal Ramadhan ini diputuskan secara bersama dalam Sidang Isbat, Minggu malam.
Baca Juga: Berbeda dengan Muhammadiyah, Pemerintah Tetapkan Awal Puasa Pada Selasa 12 Maret 2024
Sidang Isbat ini, lanjut Yaqut, melibatkan tim Hisab dan Rukyat Kemenag. Kemudian juga dihadiri Ketua Komisi VIII DPR RI, Majelis Ulama Indonesia (MUI), BMKG, Badan Informasi Geospasial, ahli falak, hingga sejumlah pimpinan ormas Islam.
"Berdasarkan hisab posisi hilal di beberapa daerah di Indonesia sudah di atas ufuk dan tidak memenuhi kriteria MABIMS baru serta ketiadaan laporan melihat hilal. Sidang Isbat secara mufakat menetapkan bahwa 1 Ramadhan 1445 H jatuh pada hari Selasa 12 Maret 2024 Masehi," ungkapnya.
"Tentu kita berharap mudah-mudahan dengan hasil sidang isbar ini seluruh umat islam di Indonesia dapat menjalankan ibadah puasa dengan kekhusyukan," imbuhnya.
Muhammadiyah Puasa Besok
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sebelumnya juga telah menetapkan 1 Ramadhan 1445 H. Berbeda dari pemerintah, Muhammadiyah menetapkan awal puasa pada Senin (11/3) besok.
Baca Juga: Menteri Agama: 1 Ramadan Jatuh Pada Selasa, 12 Maret 2024
Perbedaan penentuan awal Ramadhan terjadi bukan karena metode hisab dan rukyat melainkan perbedaan kriteria yang dipedomani oleh tiap-tiap organisasi Islam, termasuk pemerintah.
Kriteria wujudul hilal digunakan Muhammadiyah. Sedangkan kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal) digunakan oleh Nahdlatul Ulama dan beberapa organisasi keagamaan lain di Indonesia.
Pemerintah melalui Kemenag RI memedomani kriteria visibilitas hilal atau imkan rukyat, yaitu tinggi hilal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat. Kriteria tersebut merupakan kesepakatan bersama yang telah diputuskan empat negara Asean yang tergabung dalam anggota MABIMS pada 2021, yakni Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Singapura, dan Malaysia.