Suara.com - Pengamat penerangan Indonesia Gerry Soejatman turut menanggapi insiden pilot dan kopilot Batik Air yang tidur saat terbang.
Gerry Soejatman menganggap bahwa pilot tidur di fase cruising adalah hal biasa yang dilakukan.
Tapi ada syaratnya, harus satu-satu atau bergantian.
"Ini dikarenakan microsleep sangat berguna ketika sedang letih. Nah yang masalah adalah kalau keduanya ketiduran," tulisnya melalui unggahan di akun Twitternya seperti dikutip Sabtu (9/3/2024).
Baca Juga: Terungkap! Penyebab Pilot Dan Kopilot Batik Air Tidur 28 Menit Saat Terbang, Pesawat Sampai Nyasar
Ia kemudian mendedahkan analisisnya bahwa masalah ketiduran ini harus dilihat dari faktor-faktor penyebabnya.
Kopilot memberikan keterangan bahwa dia memang sedang kurang istirahat karena membantu istrinya ngasuh bayi kembar yang baru berusia sebulan.
"Seharusnya, ketika ini terjadi, kaptennya harus menilai apakah dia sendiri cukup atau tidak istirahatnya? Jika memang kurang istirahat, maka dia atau kopilotnya, atau dua-duanya minta diganti," terangnya.
"Masalahnya disini adalah masalah kondisi kerja dan kedisiplinan istirahat pilot," imbuhnya.
Dari sisi scheduling, penjadwalan terbang mereka sepertinya tidak ada masalah, termasuk juga untuk kebutuhan istirahat di penerbangan dini hari.
Baca Juga: Kesaksian Penumpang Batik Air yang Pilot dan Kopilot Ketiduran saat Terbang
Dari sisi lain, butuh ditelusuri mengenai corporate attitude mengenai masalah pilot fatigue, dan ini masalah kompleks.
"Apakah jika ada pilot yang minta diganti schedule terbangnya karena alasan fatigue diberi sanksi atau tidak? Jika diberi, apakah langsung, atau berdasarkan trend jejak rekam si pilot?
"Lalu perusahaan sudah pasti mempunyai awareness campaign mengenai kesehatan/kesiapan terbang pilot (contoh: "IAMSAFE" program), tetapi apakah dijalankan? Kemudian apakah perusahaan memberikan "Paternal Leave"(Cuti lahiran) bagi pilot pria yang istrinya baru melahirkan? Jika tidak ada, sebaiknya diadakan, guna menurunkan resiko terkait pilot fatigue," katanya.
Mengenai masalah pemberian sanksi, Gerry tidak setuju jika jalan keluarnya hanya segampang memberikan sanksi kepada pilot dan manajemen maskapai.
"Ini ada resiko sistemik yang harus diselesaikan, dan justru kebijakan gampang memberikan sanksi akan menghambat perbaikan karena masalah Pilot Fatigue ini masalah yang membutuhkan analisa dan solusi kualitatif, bukan kuantitatif, karena membutuhkan awareness dan kesadaran dimana butuh pilot yang fatigue diberi pengakuan dan perlindungan dari sanksi guna bisa memberikan keteragan sepenuh-penuhnya agar bisa dicarikan solusi yang sistemis," tegasnya.
Namun, jika memang masalah fatigue ini diakibatkan oleh kesengajaan atau keteledoran berdasarkan perilaku yang tidak bertanggung jawab oleh pilotnya, maka wajar bila diberikan sanksi disipliner.
Yang patut dipertanyakan, kalau pilotnya ngaku "kurang istirahat", reaksi perusahaan bagaimana? Terus, seharusnya si kapten juga sadar kalau dirinya sendiri kurang istirahat. Kalau diem saja, kopilotnya juga tidak tau kondisi rekannya," ungkapnya.
Selain itu, yang perlu dievaluasi untuk overnight flight operations rute jarak pendek/menengah adalah pertama; efektifitas program Fatigue Risk Management System (FRMS) perusahaan.
Kedua; pola recommended rest sebelum dan setelah overnight flight bagi crew di dalam FRMSnya seperti apa.
Lalu ketiga; feedback mengenai efektifitas FRMS. Dan keempat; awareness/kepatuhan crew dalam mengikuti pola istirahat sebelum dan sesudah flight sesuai FRMS bagaimana?