Suara.com - Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu'ti beberapa waktu lalu mengemukakan bahwa sidang isbat tidak diperlukan untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan 1445 Hijriayah.
Pernyataan tersebut disampaikannya saat berceramah dalam acara Tarhib Ramadan dan Milad ke-3 Masjid Al Birru di Desa Mindahan Kidul, Batealit, Jepara. Hal tersebut disampaikannya karena pada akhir Ramadhan hilal berada di atas 8 derajat.
"Insya Allah Idul Fitri akan bareng (dengan pemerintah). Posisi hilal saat akhir Ramadan sudah di atas 8 derajat. Dengan posisi seperti itu, hilal sudah bisa dilihat jelas. Jadi tidak perlu sidang isbat, sehingga bisa hemat anggaran," katanya.
Persoalan sidang isbat memang menjadi persoalan yang kerap muncul menahun, terutama saat penentuan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah. Sejarah sidang isbat sendiri sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 1950-an.
Baca Juga: Apakah 11 dan 12 Maret 2024 Libur Awal Ramadhan? Bersiap Liburan Panjang1
Mengutip situs Kemenag, sebagian sumber lain menyebut bahwa sidang isbat mulai rutin berjalan dan dilakukan sejak tahun 1962. Bahkan, hasil sidang isbat yang diumumkan Menteri Agama menjadi momen yang ditunggu masyarakat.
Kemudian dalam perkembangannya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan Keputusan Fatwa No 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah.
Dalam fatwa tersebut, salah satunya memutuskan bahwa penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah dilakukan berdasarkan metode rukyah dan hisab oleh Pemerintah RI cq. Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais-Binsyar) Ditjen Bimas Islam, Adib mengemukakan bahwa sidang isbat penting dilakukan karena Indonesia bukan negara agama, bukan juga negara sekuler.
Sehingga, Indonesia tidak bisa menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada orang per orang atau golongan.
Baca Juga: Jelang Sidang Isbat Ramadan, Legislator: Masyarakat Diharapkan Jaga Kerukunan
Perbedaan Metode
Lantaran itu, sidang isbat penting dilakukan karena banyak organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam di Indonesia yang juga memiliki metode dan standar masing-masing dalam penetapan awal bulan Hijriyah.
Persoalan itu yang kemudian menimbulkan perbedaaan, lantaran mazhab serta metode yang digunakan berlainan.
"Sidang isbat dibutuhkan sebagai forum bersama mengambil keputusan. Ini diperlukan sebagai bentuk kehadiran negara dalam memberikan acuan bagi umat Islam untuk mengawali puasa Ramadan dan berlebaran," ujar Adib di Jakarta, Jumat (8/3/2024).
Kemudian dalam perkembangannya, sidang isbat menjadi forum musyawarah para ulama, pakar astronomi, ahli ilmu falak dari berbagai ormas Islam, termasuk instansi terkait dalam menentukan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah.
Bahkan, sidang ini dihadiri juga oleh duta besar negara sahabat, Ketua Komisi VIII DPR RI, Perwakilan Mahkamah Agung, Perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Perwakilan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Perwakilan Badan Informasi Geospasial (BIG), Perwakilan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Perwakilan Bosscha Institut Teknologi Bandung (ITB), Perwakilan Planetarium Jakarta, Pakar Falak dari Ormas-ormas Islam, Anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama, dan Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan Islam dan Pondok Pesantren.
"Hasil musyawarah dalam sidang isbat ditetapkan oleh Menteri Agama agar mendapatkan kekuatan hukum. Jadi bukan pemerintah yang menentukan jatuhnya awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Pemerintah hanya menetapkan hasil musyawarah para pihak yang terlibat dalam sidang isbat," katanya.
Ia mengemukakan, sidang isbat penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah tak hanya dilakukan di Indonesia saja.
Adib menyebut, negara-negara Arab juga melakukan isbat setelah mendapatkan laporan rukyat dari lembaga resmi pemerintah atau perseorangan yang sudah terverifikasi dan dinyatakan sah oleh majelis hakim tingginya.
Ia mengemukakan, perbedaannya dengan negara-negara Arab dalam mengambil keputusannya, yakni di Indonesia menggunakan mekanisme musyawarah dengan seluruh peserta sidang isbat.
"Inilah yang menjadi nilai lebih bahwa keputusan diambil bersama, nilai-nilai demokrasi sangat tampak dengan kehadiran seluruh ormas yang hadir pada saat sidang isbat," katanya.
Peran pemerintah dalam proses sidang isbat, menurut Adib, merupakan fasilitator ormas Islam dan para pihak untuk bermusyawarah.
Kemudian untuk hasil sidang isbat, diterbitkan dalam bentuk Keputusan Menteri Agama agar mempunyai kekuatan hukum yang dapat dipedomani masyarakat.
"Sidang isbat mengingatkan kita semua akan pentingnya menyatukan langkah dalam menjalankan ibadah dan memperkuat hubungan bersama dengan Allah, dengan tetap mengedepankan toleransi dan sikap saling menghormati atas beragam keputusan yang ada," katanya.