Reaksi Guru Besar Lihat Prabowo Terima Pangkat Jenderal Kehormatan: Melecehkan Sejarah!

Suhardiman Suara.Com
Rabu, 28 Februari 2024 | 15:02 WIB
Reaksi Guru Besar Lihat Prabowo Terima Pangkat Jenderal Kehormatan: Melecehkan Sejarah!
Presiden Joko Widodo (kiri) menyematkan pangkat Jenderal TNI Kehormatan kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (tengah) dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI dan Polri Tahun 2024 di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (28/2/2024). [ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/nym/pri].
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menerima kenaikan pangkat secara istimewa berupa Jenderal TNI kehormatan, Rabu (28/2/2024).

Hal ini ternyata menimbulkan reaksi kontra dari sejumlah pihak. Salah satunya dari Guru Besar Universitas Airlangga Profesor Henri Subiakto.

"Kejujuran, konsistensi, dan keberanian menyampaikan fakta kebenaran, makin sulit ditemui di kalangan elit politik nasional kita sekarang," tulisnya seperti dilihat dari akun X miliknya.

Henri menilai para elit lebih mendahulukan kepentingan politik pribadinya saat ini, daripada konsistensi dan kejujuran moral terhadap bangsa dan negara.

Menurut Henri, pemberian pangkat jenderal kehormatan pada Prabowo merupakan upaya Jokowi menanamkan investasi politik.

"Tujuannya agar Prabowo ingat bahwa Jokowilah yang telah memulyakan jenderal pecatan ini menjadi pemenang Pilpres dan sekarang bisa menjadi jenderal bintang 4 kehormatan," ungkapnya.

Henri mengutarakan Jokowi sadar pemberian gelar jenderal ini memunculkan reaksi dan banyak menyakiti para korban HAM masa lalu. Dirinya menyebut keputusan itu melecehkan sejarah.

"Tapi karena 'disetujui' oleh mantan-mantan jenderal di sekeliling Jokowi. Keputusan yang melecehkan sejarah itupun tetap dilakukan," tegasnya.

Keputusan ini, kata Henri, merupakan upaya Jokowi agar Prabowo benar-benar merasa utang budi, tunduk dan tidak lupa kalau sudah berkuasa nanti.

Prabowo telah dimuliakan secara total oleh Jokowi, sampai harus melakukan upaya menghapus noda hitam sejarah pelanggaran HAM masa lalu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI