Suara.com - Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY dilantik menjadi Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Rabu (21/2/2024).
Bergabungnya AHY di kabinet Indonesia Maju, mengartikan Partai Demokrat ini berada dalam koalisi pemerintahan Jokowi.
Padahal sebelumnya Partai Demokrat adalah oposisi terhadap pemerintahan Jokowi. Kader partai berlambang bintang mercy itu sering melancarkan serangan ke Jokowi.
Baca Juga:
Momen Anies Baswedan Terlihat Gelagapan Gegara Cak Imin Ucap Tiga Kata Ini
Potret Keluarga Dokter Gunawan, Dokter Kopassus yang Kena Tegur Mayor Teddy
Bahkan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sampai mengeluarkan buku yang mengkritisi pemerintahan Jokowi.
Buku bersampul merah yang berjudul "Pilpres 2024 & Cawe-Cawe Presiden Jokowi" diterbitkan pada Juni 2023 di kala ada upaya pengambilalihan Partai Demokrat oleh orang dalam Istana, Moeldoko.
Ada sejumlah hal yang dikritisi SBY dalam buku merah itu, salah satunya adalah mengenai adanya informasi mengenai Jokowi yang akan mendukung salah satu paslon pada Pilpres 2024.
Baca Juga: Welcome to The Jungle! PKS Ungkap Tantangan 100 Hari AHY usai Masuk Kabinet Jokowi
Di buku itu, SBY menganggap hak Presiden Jokowi untuk memberikan endorsement kepada siapapun untuk menjadi Capres dan atau Cawapres.
"Tidak boleh endorsement yang berarti dukungan dan “keberpihakan” itu dianggap keliru. Tak ada yang boleh melarang dan menghalanginya," ujar SBY.
Jika untuk menyukseskan jago yang didukungnya, Presiden Jokowi melakukan kerja politik, menurut SBY itu juga tidak keliru.
Tapi, lanjut dia, dengan catatan Jokowi tidak menggunakan sumber daya negara untuk menyukseskan kandidat yang dijagokannya itu.
Jika Presiden Jokowi menggunakan fasilitas dan uang negara dalam memenangkan paslon yang didukungnya menurut SBY hal itu tidak etis dan melanggar undang-undang.
"Sebagai contoh jika lembaga intelijen (BIN), Polri, TNI, Penegak Hukum, BUMN dan perangkat negara yang lain itu digunakan, jelas merupakan pelanggaran undang-undang yang serius karena bakal membuat Pilpres mendatang tidak lagi jujur dan adil," kata SBY.
Siapapun di negeri ini, termasuk Presiden, ujar SBY, jika melakukan perbuatan yang membuat Pemilu termasuk Pilpres, benar-benar tidak bebas, tidak jujur dan tidak adil sudah berkategori melanggar konstitusi.
Hal ini kata SBY, sejalan dengan amanah UUD 1945, “Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.”
SBY lalu mengambil contoh majunya Gibran sebagai calon Wali Kota Solo dan Bobby Nasution sebagai calon Wali Kota Medan.
SBY mengatakan, sebagian kalangan menganggap itu tidak etis, karena Jokowi sedang menjabat sebagai Presiden (incumbent).
"Menurut pendapat saya tidak bisa serta merta kita mengatakan Pak Jokowi melanggar etika, karena itu
tergantung cara memandangnya," tuturnya.
Siapapun di negeri ini kata SBY, memiliki hak dan kebebasan untuk menjadi siapa.
"Dalam pemilihan umum, termasuk Pilpres, setiap warga negara (kecuali dilakukan pembatasan oleh putusan pengadilan) memiliki “hak untuk memilih” dan “hak untuk dipilih”, sehingga putra-putra Pak Jokowi juga memiliki hak yang sama," bebernya.
Yang penting, kata SBY, jangan sampai Jokowi menggunakan sumber daya dan perangkat negara untuk memenangkan putra-putranya di Pilkada.
Kalau itu terjadi, SBY mengatakan, di samping melanggar undang-undang juga membuat Pilkadanya tidak adil. Tidak adil bagi kandidat yang lain beserta para pemilihnya.
"Pendapat saya berkaitan dengan tidak boleh dihalang-halanginya putra-putra Presiden Jokowi untuk maju
sebagai kandidat apapun (walikota, gubernur, presiden misalnya), mesti berlaku sama bagi warga negara yang lain," ucapnya.
Artinya, menurut SBY, siapapun yang ingin menjadi capres atau cawapres dalam Pilpres 2024 tidak boleh dihalang-halangi, apalagi jika dilakukan dengan penyalahgunaan kekuasaan.