Suara.com - Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional atau TPN Ganjar-Mahfud yang juga politisi muda PDIP, Aryo Seno Bagaskoro angkat bicara soal Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi dilaporkan dugaan pelanggaran HAM ke PBB atas dalih pembangunan, itu merupakan mekanisme kontrol terhadap kekuasaan.
"Jadi jika ada upaya-upaya investigasi yang didorong oleh masyarakat, saya rasa adalah hal yang baik sebagai mekanisme kontrol atas kekuasaan," kata Aryo Seno Bagaskoro saat dihubungi, Rabu (21/2/2024).
Aryo lantas menyinggung pelaksanaan Pemilu 2024. Menurutnya, Pemilu 2024 menimbulkan banyak catatan dan jadi cerminan persoalan panjang rezim Jokowi.
"Dalam konteks pelaksanaan Pemilu 2024, yang penuh dengan catatan oleh para budayawan, guru besar, akademisi, civil society, dan mahasiswa, hingga investigasi yang dipaparkan oleh salah satunya film Dirty Vote, memang pemilu kali ini beserta aktor-aktornya menjadi cerminan persoalan panjang rezim ini," tuturnya.
Baca Juga: Kubu Anies Singgung 'Asal Jadi' saat Respons soal Jokowi Dilaporkan ke PBB
Kemudian soal adanya laporan ke PBB, kata dia, selama ini hal yang dilaporkan memang menjadi titik kritik terhadap pemerintahan Jokowi.
"Lalu di saat yang sama, kita melihat hari ini concern internasional ada di isu-isu pemenuhan demokrasi substantif, penuntasan kasus-kasus HAM, dan etika pembangunan berkelanjutan. Hal-hal yang memang menjadi titik kritik publik atas pemerintahan Presiden Joko Widodo," imbuhnya.
Diketahui, Presiden Joko Widodo atau Jokowi dilaporkan dugaan pelanggaran HAM ke PBB atas dalih pembangunan. Di mana Jokowi dilaporkan melakukan tindakan reprresif kepada masyarakat dengan dalil pembangunan dalam dua periode kepemimpinannya.
Pelaporan yang dilakukan lembaga Human Rights Working Group (HRWG) juga melaporkan atas represifitas dengan menggunakan isu-isy sektarian yang bermuatan agama sekaligus golongan.
Di awal tahun, koalisi non pemerintah telah menyurati dua komite HAM yakni UN Committe On Economic, Sosial and Cultural Rights dan UN Human Right Commite terkait dengan berbagai pelanggaran HAM yang telah dilakukan Jokowi selama dua periode pemerintahannya.
Baca Juga: Isi Laporan Koalisi Masyarakat Sipil ke PBB Dugaan Sisi Kelam Era Jokowi
Di awal tahun, koalisi non pemerintah telah menyurati dua komite HAM yakni UN Committe On Economic, Sosial and Cultural Rights dan UN Human Right Commite terkait dengan berbagai pelanggaran HAM yang telah dilakukan Jokowi selama dua periode pemerintahannya.
Dua laporan bayangan ini disusun oleh gabungan kelompok masyarakat sipil lebih dari 40 lembaga.
Dalam laporan berjudul sisi gelap pembangunan Jokowi pada dua periode kepemimpinannya disebutkan Jokowi melakukan tindakan represif yang terlihat dalam sejumlah peristiwa seperti peristiwa Rempang, Wadas dan Ibu Kota Nusantara (IKN).
"Dengan dalih dan motif pembangunan, Jokowi telah melakukan represifitas (repressive develpmentalis)," bunyi laporan tersebut.
Represifitas pembangunan yang dijelaskan lembaga yakni bagaimana Jokowi pun melakukan represif mirip pada pemerintahan sebelumnya seperti orde baru yang berusaha membungkam kelompok yang tidak mendukung dengan dalih-dalih pentingnya pembangunan demi kepentingan nasional.
Dalam 10 tahun masa jabatan Jokowi telah dianggap mendorong agenda otoritariat eksploratif melalui 6 kebijakan yang berdampak buruk pada lingkungan yakni menciptakan UU Cipta Kerja yang mengabaikan lingkungan dan hak-hak masyarakat, merevisi UU minerba yang memberikan karpet merah bagi industri ekstratif yang merusak alam, membuat proyek strategis nasional yang mendorong percepatan perusakan lingkungan sekaligus melakukan pelemahan KPK yang selama ini berperan penting memberantas korupsi.
Langkah Jokowi lainnya yang dinilai mendorong agenda tersebut ialah merevisi dan mengesahkan UU ITE yang sekaligus menjadi ancaman kebebasan pers.
Laporan ini dilakukan karena Indonesia sendiri telah meretifikasi dua perjanjian internasional mengenai penghormatan, perlindungan dan pemenuban HAM yakni konvenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik (iccpr) dan konvenan internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya, (icescr) pada tahun 2005.