Maka dari itu menurut Mahfud, tudingan kecurangan menjadi hal biasa di telinganya. Namun ia meyakini bahwa jika ada bukti kecurangan, hal itu tak serta merta membuat hasil pemilu dikatakan tidak sah.
Karena menurutnya kecurangan yang signifikan baru bisa dilakukan untuk pembatalan pemilu.
Meski caleg kalah namun ada tudingan kecurangan 5 juta suara, tapi pembuktian hanya 1.500 suara, caleg tersebut tetaplah kalah.
"Karena kalau berpikir, oh ini hak konstitusional, satu pun suara curang harus dibatalkan, tidak akan pernah ada pemilu selesai. Maka hukum mengatuh, curang itu terus ada, tetapi harus sinifikan. Nah itu yang nantinya akan dihadapi KPU, hadapi aja," jelas Mahfud di penggalan video yang pernah tayang di YouTube TvOne.
Maka dari itu, kecurangan-kecurangan yang terjadi di Pemilu 2024, bisa jadi memang ada dan terjadi di setiap daerah-daerah. Meski begitu, masyarakat masih skeptis, tak sedikit yang tak begitu percaya di kalangan bawah yang melakukan kecurangan.
"Curangnya dalam konteks apa dulu ini. Kalau penggelembungan suara mungkin betul yang disampaikan prof Mahfud MD. Tapi kalau permainan kotor yang terdesain secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) kan memang sudah jelas," kata salah satu netizen.
"KPU gimana bisa curang, dia kan cuma alat, yang curang ya dalangnya," kilah lainnya.
"Nah ini, presidennya yang powerpoll, pantes udah jelas pemenangnya," tuding lainnya.
Terlepas dari dugaan curang di tingkat KPU, sejauh penghitungan suara Pilpres, paslon nomor urut 2, Prabowi-Gibran paling unggul dengan perolehan 57,5 juta suara atau sekitar 58,68 persen.
Urutan kedua adalah paslon nomor urut 1, Anies-Muhaimin dengan perolehan 23,7 juta suara atau berkisar 24,25 persen.