Suara.com - Hasil quick count atau hitung cepat Pilpres 2024 menempatkan pasangan Capres-Cawapres yang diusung PDIP, Ganjar Pranowo-Mahfud MD dengan raihan di peringkat ketiga.
Berdasarkan lembaga survei Saiful Munjani misalnya, dari data yang sudah masuk per Sabtu (17/2/2024) keduanya meraih 16,59 persen, sedangkan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar 24,84 persen, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka 58,58 persen.
Pengamat Politik Citra Institute Efriza melihat PDI Perjuangan dan Ganjar Pranowo telah melakukan blunder, terutama pada debat Pilpres 2024 yang terakhir.
Baca Juga:
Baca Juga: Data dari 1.700 TPS Harus Diperbaiki KPU untuk Hitung Hasil Pilpres 2024
- Momen Muhammad Fardhana Berangkat Tugas ke Papua tanpa Didampingi Ayu Ting Ting
- Real Count KPU: Anak Jenderal Kamerun Bio Paulin Terancam Gagal, Okto Sebelas Dua Belas
- Gibran Pakai Jam yang Dibeli di Bekasi Saat Nyoblos: Harganya Setara 167 Kg Beras
Komunikasi atau bahasa politik yang digunakan untuk menyerang Presiden Joko Widodo dan Capres Prabowo Subianto adalah sebuah blunder.
"Jadi ada hal-hal yang saya rasa PDIP tidak belajar pada masa lalu. PDIP pernah dikalahkan oleh SBY karena sikapnya yang jumawa, arogan, dan tinggi hati," ujarnya dikutip dari YouTube Tribunnews dikutip, Sabtu (17/2/2024).
"Namun yang kurang dipahami ketika itu, hal itu dilakukan dengan Ganjar Pranowo dilakukan sama apa yang dikeluarkan retorika maupun komunikasi politik atau bahasa politik terhadap Pak Jokowi maupun Pak Prabowo di debat capres ini yang menjadi blunder," katanya lagi.
PDI Perjuangan disebutnya tidak memahami pola di Indonesia yang ketika seorang presiden terpilih sekali kecenderungannya akan menang kembali untuk kedua kalinya, asalkan memuaskan masyarakat. SBY dan Jokowi telah membuktikannya.
Selain itu, PDI Perjuangan juga dinilai tidak memahami bahwa masyarakat selalu mengkritisi dua periode kepemimpinan seorang calon. Akan tetapi, pada Pilpres 2024 ternyata nilai kepuasan Presiden Joko Widodo terbilang masih tinggi.
"Tapi yang dikritisi adalah kerecokan, merecoki sikap ambigu dari PDI Perjuangan. Dia yang memerintah, dia yang mengajukan (mengusung) Pak Jokowi, tapi dia menyerang pemerintah. Dia yang menetapkan bansos misalnya di parlemen karena suaranya tertinggi, dia yang punya perolehan suara tertinggi, dia yang minta dibatalkan atau minta ditunda," katanya.
Baca Juga: 7 Fakta Program Makan Siang Gratis Prabowo: Bikin Untung atau Rugi Rakyat?
Contoh lain dari sikap ambigu menurutnya mengenai penyusunan Undang-undang Pemilu yang PDIP ikut ikut menyepakatinya.
"Namun, dia pula yang malah menyalahkan ketika seseorang bekerja untuk masyarakat, dia masih tidak mengundurkan diri, masih bekerja hanya mengambil cuti, lalu keburu mundur, dan ini adalah suatu fenomena-fenomena masyarakat menilai kenapa dengan PDI Perjuangan," imbuhnya.
Efriza menjelaskan, yang perlu dipahami lagi dari masyarakat Indonesia bahwa tidak suka terhadap orang sombong. Hal itu terbukti dari sikap Prabowo yang lebih kalem pada Pilpres kali ini.
"Apa yang dikatakan oleh Ganjar saat terakhir debat itulah yang merusaknya. Dia malah bilang muka diktator, dia mengatakan orang yang otoriter, dia juga yang mengatakan dalam tanda kutip ataupun dalam hal yang nyata dalam tanda kutip sebagai mohon maaf kasus Trisakti, kasus 98. Inilah yang mengunggah masyarakat malah balik menghukum PDI Perjuangan. Karena mereka tidak tahu bahwa mereka sedang dikritisi malah akhirnya dihukum," kata dia.