Suara.com - Perolehan suara paslon 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming yang unggul jauh dibanding dua kandidat lain ditengarai karena adanya dukungan dari Jokowi.
Para pendukung setia Jokowi di tahun 2019 kini memilih Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Sejumlah pengamat menamakannya sebagai Jokowi effect alias efek Jokowi.
Namun Jokowi effect ini tidak berlaku bagi Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Walau sudah menjadikan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum, PSI diprediksi tidak lolos ke Senayan.
Baca Juga:
Baca Juga: Akui Sudah Ketemu Langsung, Jokowi Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran
40 Orang Diduga Caleg Stres! Real Count Tak Berpihak, Mimpi Politik Kandas
Founder lembaga Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menduga ini terjadi karena asosiasi PSI dengan Jokowi belum terlalu masuk ke grassroot pendukung Jokowi.
"Tingkat kedikenalan PSI juga hanya 54%. Itupun kebanyakan warga kota yang tahu yang umumnya udah kesel dengan PSI," ujar Burhanuddin di akun X.
Menurut dia, Strategi sosialisasi PSI juga terkonsentrasi di perkotaan dan masih banyak orang yang tidak tahu bahwa Kaesang adalah Ketua Umum PSI.
Ini berbeda dengan Prabowo-Gibran. Burhanuddin menuturkan, asosiasi Prabowo dengan Jokowi sangat kuat, apalagi setelah berpasangan dengan Gibran.
Baca Juga: Kata Anies Soal Jokowi Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran Atas Hasil Quick Count
Massifnya pemberitaan mengenai Prabowo berasosiasi dengan Jokowi kata dia, sampai ke basis Jokowi hingga bawah.
Hal ini juga menjelaskan mengapa PDIP dan PKB unggul di Jawa Timur tapi yang menang adalah Prabowo-Gibran.
Burhanuddin menggunakan teori split ticket voting yaitu konstituen suatu partai tidak otomatis mendukung capres yg diusung partainya. Ia mencontohkan apa yang tejadi pada SBY di tahun 2004 dan Jokowi di tahun 2014.
"SBY tahun 2004 dapat 60% padahal Partai Demokrat hanya 7% saat itu. Jokowi thn 2014 menang 53% padahal koalisi partainya hanya 37%.," tuturnya.