Viral Jokowi Minta Sri Sultan HB X Jadi Fasilitator, Pakar Politik UGM: Komunikasi Politiknya ke Megawati Buntu

Galih Priatmojo Suara.Com
Selasa, 13 Februari 2024 | 11:02 WIB
Viral Jokowi Minta Sri Sultan HB X Jadi Fasilitator, Pakar Politik UGM: Komunikasi Politiknya ke Megawati Buntu
Presiden Jokowi didampingi Sri Sultan Hamengku Buwono X saat meninjau persediaan beras di gudang Bulog di Purwomartani, Sleman pada 29 Januari 2024.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Gubernur DIY, Sri Sultan HB X membenarkan pernyataan pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie yang menyatakan Presiden minta difasilitasi bertemu Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri pada 7 Februari 2024 lalu. Pakar politik UGM, Mada Sukmajati pun memberikan komentarnya terkait hal itu.

Menurut Mada, Sultan memang hingga saat ini masih menjadi figur yang  memiliki peran yang strategis di tingkat nasional, termasuk dengan para elit politik.  Karenanya Jokowi minta difasilitasi bertemu Megawati pada Sultan saat bertandang ke Keraton Kilen pada 28 Januari 2024 lalu.

"Sultan bisa masuk menjembatani kebutuhan komunikasi para elit politik. Meski menurut saya sebenarnya bisa dikatakan ini pilihan yang tidak prioritas, pilihan yang kesekian atau pilihan terakhir dari elit nasional ketika meminta fasilitas dari sultan," papar Mada dalam Diskusi di Fisipol UGM, Selasa (13/02/2024).

Menurut Mada, Sri Sultan HB X yang kemudian dilibatkan dalam kontestasi politik Jokowi dan Megawati itu terjadi akibat terjadinya kebuntuan komunikasi politik. Sebab bila komunikasi keduanya masih baik maka figur Sultan tidak diperlukan sebagai fasilitator.

Baca Juga: Megawati Makin Mengerikan di Liga Voli Korea, Duet dengan Gia Jadi Kunci di Red Sparks

Namun sepertinya Megawati menutup pintu atau celah komunikasi dengan Jokowi. Sehingga presiden memilih jalan terakhir dengan meminta tolong pada Sri Sultan HB X.

"Artinya komunikasi antar elit mengalami kebuntuan sehingga sampai kemudian figur sultan dilibatkan, karena kalau sebenarnya [kebuntuan komunikasi] bisa diatasi di tingkat mereka, maka figur Sultan tidak diperlukan. Ketika semua komunikasi, chanel sudah buntu ya berarti peran sultan bisa menjadi sangat strategis," tandasnya.

Mada menambahkan, di dalam politik Indonesia di era reformasi, sebenarnya tidak ada konflik antar elit yang sifatnya ideologis. Yang terjadi justru konflik yang sifatnya pragmatis.

Karenanya Jokowi yang menjabat sebagai Presiden selama dua periode tidak ingin keterlibatan elit yang strategis lepas dalam pemerintahan selanjutnya. Ada kebutuhan dan upaya Jokowi untuk mengakomodir PDIP, terutama Megawati.

Hal itu penting agar stabilitas pemerintahan pasca pemilu bisa berjalan dengan baik. Dengan demikian program yang sudah dijalankan selama ini bisa diteruskan.

Baca Juga: Surat Undangan Sudah Diterima, Jokowi Dan Ibu Negara Akan Nyoblos Di TPS 10 Gambir

"Sebagai presiden di dua periode sebelumnya, jokowi tidak ingin kan elit strategis tidak dilibatkan dalam nanti jalannya pemerintahan kedepan. Jadi ada kebutuhan jokowi untuk berusaha mengakomodir pdip, megawati secara khusus agar stabilitas pemerintahan dan sosial pasca pemilu bisa dikelola dengan baik," ungkapnya.

Mada berharap, meski ada pertarungan, para elit nasional bisa menerima hasil pemilu. Siapapun yang nantinya menjadi pemenang bisa berkomunikasi dengan lawannya.

Tanpa kesadaran itu maka dikhawatirkan legitimasi politik menjadi tidak kuat. Persoalan itu bisa mempengaruhi stabilitas pemerintahan selama lima tahun berikutnya.

"Jadi dalam konteks ini komunikasi, deal-deal kalau kalah dapat menerima apa, kalau menang tidak mengambil semua dan seterusnya jadi penting. Dalam konteks itu, jokowi memerlukan komunikasi dengan megawati. Tapi kita akan melihat sejauh mana pemilu berjalan, termasuk di sisa waktu. Karena itu akan menentukan sejauh mana elit akan menerima dan memberikan legitimasi dari hasil pemilu," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI