Suara.com - Hajatan demokrasi lima tahunan yang idealnya memberikan pendidikan politik berbangsa dan bernegara tengah dipotret ulang dalam sebuah film dokumenter berjudul Dirty Vote.
Dirilis di masa tenang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pilpres) 14 Februari 2024, benarkah merupakan potret buruk demokrasi Indonesia?
Berikut sinopsis lengkap film yang tengah tranding topik media sosial sejak dirilis, 11 Februari 2024.
Film yang disutradarai Dandhy Laksono ini berisikan kritikan terhadap sistem demokrasi pada hajatan Pemilu dengan menghadirkaan tiga pakar / ahli tata negara lulusan universitas ternama.
Mereka ialah Zainal Arifin dari Universitas Gajah Mada (UGM), Feri Amsari yang berasal dari Universitas Andalas dan satu-satunya perempuan, Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia.
Dengan keilmuan dimilik ketiganya, mereka mengupas 'lembar demi lembar', 'kejadian demi kejadian' sampai kronologi tahapan-tahapan putusan di lembaga terhormat Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi tiket bagi Gibran Rakabuming Raka yang merupakan anak Presiden Jokowi maju di arena Pilpres 2024.
"Jika anda menonton film ini, saya punya satu pesan sederhana. Satu, tolong jadikan, film ini sebagai landasan untuk anda melakukan penghukuman," pinta Zainal Arifin membuka adegan film tersebut.
Baca Juga:
Diduga Dilarang Nyanyi, Happy Asmara Minta 3 Tahun ke Anak Haji Isam
Sosok Anwar Usman, Adik Ipar Jokowi yang Datangi Acara Lamaran Ayu Ting Ting
Film berdurasi hampir 2 jam ini, baik Zainal Arifin, Feri Amsari dan Bivitri Susanti bergantian mengungkap mengenai adanya kecurangan, penciptaan kelemahan sistem sekaligus upaya-upaya manipulasi yang kemudian dibongkar dengan analisis berbasis pengolahan data.
"Film ini merupakan monumen, tagihan, momen yang akan kita ingat, jika kita memiliki peran besar melahirkan seseorang bernama Jokowi," sambung Zainal sebagai bagian monolog pembuka film.
Upaya-upaya membangkitkan sikap sadar politik bersih dilakukan dengan paparan temuan konflik mulai dari penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan, memanipulasi situasi sistem, sekaligus penggerakan mobilisasi pejabat melalui instrumen birokrasi negara.
Kompleksitas kemelut menjadi peristiwa lumrah yang mendasari pertanyaan besar dalam film ini. Bagaimana cita-cita demokrasi pada hajatan Pemilu dapat berintegritas?
Hal paling mencolok dipaparkan dalam mengkritik bagaimana Pemerintah menggunakan instrumen bantuan sosial (bansos) sebagai 'senjata' politik menjelang masa-masa Pemilu.
Distribusi realiasasi bantuan sosial yang terus meningkat menjelang Pemilu, terindikasi menjadi strategi meraup dukungan dengan dalil 'rasa puas' yang berujung kampanye 'keberlanjutan' kekuasaan.
Seolah mempotret buruknya demokrasi saat ini, film juga mengkritik bagaimana mobilisasi melalui perangkat desa, terutama kepala desa yang dikaitkan dengan peningkatan anggaran dana desa.
Tak luput potret bagaimana para menteri dan pejabat pemerintah yang diduga menjadi bagian proses kampanye. Misalnya ada menteri yang tidak tercantum sebagai bagian dari tim pemenangan, namun aktif menyatakan dukungan pada pasangan calon tertentu.
Dugaan ini ditemukan di seluruh pasangan calon (paslon) baik nomor urut 1, 2 dan 3.
Mirisnya lagi, tidak hanya pejabat setingkat menteri, Presiden Jokowi pun dituding bakal berkampanye dengan menggunakan fasilitas yang tentu tidak diperbolehkan berdasarkan aturan negara.
Sejumlah temuan dugaan keterlibatan penggunaan fasilitas negara ini misalnya, ada menteri yang menggunakan pesawat militer, mobil dinas yang dipakai untuk kepentingan kampaye mereka.
Temuan lainnya ialah bagaimana lembaga penyelenggara, sekaligus pengawas pemilu yang seharusnya independen pun diduga menjadi bagian dari kepentingan kekuasaan. Dengan kata lain, instrumen yang diharapkan bisa menjadi tonggak perwujudan proses demokrasi malah tidak netral.
Misalnya dalam kasus verifikasi partai politik tertentu, yang kemudian diputarkan rekaman via telepon yang mendengarkan adanya kongkalikong dalam proses tersebut.
Hal paling mencolok ialah saat mengulas Ketua MK Anwar Usman yang memberikan situasi perlakuan beda kepada syarat usia calon presiden (Capres).
Muncul konflik kepentingan dalam ayat-ayat keputusan lembaga tertinggi konstitusi tersebut. Bagaimana sikap-sikap hakim di lembaga terhormat tersebut berubah dalam satuan waktu yang sangat cepat.
Di awal, film ini pun mengungkap bagaimana instrumen politik transaksional antar elit politik, seperti halnya penunjukkan pejabat (PJ) setingkat gubernur, wali kota dan bupati.
Sejumlah kasus diulas seperti penunjukkan Tito Karnavian sebagai Pejabat Gubernur Papua, pelanggaran Pakta Integritas Bupati Sorong, adanya intimidasi perangkat desa agar mendukung paslon tertentu
Ketiga pemeran film sepakat adanya perubahan keputusan di satu hari yang sama, hanya berbeda beberapa jam. Sampai disebutkan rencana keputusan MK berubah hanya dari dalam satuan waktu sebelum dan sesudah makan siang di hari yang sama.
Di akhir film, Bivitri Susanti menutupnya dengan pernyataan menohok.
"Untuk menjalankan skenario kotor seperti ini, tak perlu kepintaran atau kecerdasan—yang diperlukan cuma dua, mental culas & tahan malu" ujarnya.
Ingin tahu lebih lengkap film yang didukung banyak lembaga sipil masyarakat ini, bisa saksikan di sini