Suara.com - Puluhan orang yang tergabung dalam civitas akademika Universitas Trisakti, berkumpul di Tugu Reformasi 12 Mei, depan kampus Trisakti, Grogol, Jakarta Barat, Jumat (9/2/2024) sore.
Bertajuk ‘Trisakti Melawan Tirani’, satu persatu civitas akademika mulai menyuarakan keresahan atas persoalan di negeri ini.
Alumni Trisakti, Usman Hamid mengatakan, hari ini masyarakat Indonesia sedang dipertontonkan tentang penghianatan cita-cita reformasi, yang telah diraih dengan cara berdarah-darah.
“Hari ini, pemerintah, khususnya Presiden, khususnya lagi pimpinan Mahkamah Konstitusi, bahkan pimpinan KPU mempertontonkan dengan telanjang pengkhianatan terhadap pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme,” kata Usman di Tugu Reformasi Trisakti, Jumat.
Baca Juga: Tak Boleh Masuk Kampus, Civitas Mahasiwa Hingga Alumni Bacakan Maklumat Trisakti di Tugu Reformasi
Usman melihat, penegakan hukum lewat pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini hanyalah permainan.
Lantaran, lembaga antirasuah itu bakal menghentikan penyelidikan kasus, bila terduga pelaku ikut bergabung dalam koalisi untuk mendukung satu pasangan capres yang didukung oleh Jokowi.
“Pemberantasan korupsi yang kami inginkan adalah pemberantasan korupsi untuk kedaulatan rakyat, untuk mengembalikan aset-aset rakyat yang ada di dalam negara. Bukan untuk dipermainkan demi memperpanjang kekuasaan,” tegas Usman.
Cita-cita Reformasi
Direktur Eksekutif Amnesty International ini juga mengatakan, cita-cita reformasi lainnya, seperti penegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia hingga saat ini juga tidak berjalan.
"Karena itu, semua korban dari Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, korban Kerusuhan Mei, penculikan dan penghilangan aktivis, bahkan sampai tragedi Tanjung Priuk, tragedi Talang Sari, tragedi Dom di Aceh, di Papua, di Timor, sampai tragedi 65, harus diberikan keadilan,” beber Usman.
Pelaku kejahatan tersebut, kata Usman, seharusnya diadili dengan serius. Namun faktanya para terduga pelaku kejahatan HAM, hingga saat ini masih berkeliaran.
Ironisnya, salah satu dari terduga pelaku malah ikut dalam kontestasi politik. Mencalonkan diri sebagai calon presiden dalam Pemilu 2024.
“Dalam tragedi '65 dan tragedi sepanjang Orde Baru, Soeharto gagal diadili. Dalam tragedi-tragedi tertentu seperti Timor-Timur, Trisakti, Semanggi, Jendral Wiranto gagal diadili. Dalam tragedi Tanjung Priuk, Jendral Try Sutrisno gagal diadili,” kata Usman.
“Dalam tragedi Talang Sari, Jendral Hendropriyono gagal diadili Dan dalam tragedi penculikan dan penghilang paksa serta kerusuhan Mei, siapa yang gagal diadili? Saya tidak dengar, siapa yang belum diadili? (Prabowo Subianto kata massa),” tambah Usman.
Usman menilai, jika kedepan pelaku kejahatan HAM berat gagal untuk diadili dan malah terpilih menjadi pemimpin bangsa, maka sama saja dengan menodai cita-cita reformasi.
"Sayang sekali Indonesia hari ini kalau sampai harus dipimpin oleh orang yang jelas-jelas melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat," ujarnya.
Usman menegaskan, berdasarkan laporan tim gabungan pencari fakta yang diketuai oleh Marzuki Darussman dibentuk oleh Presiden Habibie, Prabowo seharusnya dibawa ke pendilan untuk diadili atas perbuatannya.
"Di dalam laporan itu jelas Letjen Prabowo harus dibawa ke pengadilan. Kita bacalah laporan Dewan Kehormatan Perwira yang pada akhirnya memberhentikan Prabowo," katanya.