Suara.com - Direktur Eksekutif Kemitraan, Laode M Syarif, menilai salah satu penyebab indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada 2023 mengalami stagnan atau jalan ditempat salah satunya disebabkan penyalahgunaan bantuan sosial untuk kepentingan politik.
Hal itu disampaikannya sekaligus menanggapi isu bansos yang ditempeli stiker pasangan capres cawapres nomor 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
"Ya, itu salah satu sebenarnya yang paling menarik (IPK kita) ke bawah nilai (persepsi) korupsi kita. Itu adalah sektor politik dan korupsi di sektor yang berhubungan dengan penegakan hukum dan variety democracy," kata Laode ditemui wartawan di Gedung C1 KPK, Jakarta, Kamis (1/2/2024).
Loade kemudian menyinggung soal politik uang yang menjadi salah satu indikator yang diukur untuk menentukan indeks persepsi korupsi.
"Apa yang dinilai untuk korupsi demokrasi? Salah satunya itu adalah money politic. Money politic itu ya sekarang kelihatan ini kayak bansos disebar ke mana mana, tidak sesuai peruntukannya," katanya.
"Ya bagaimana mau naik corruption preseption index kita, kalau perilaku kita masih seperti itu," sambungnya.
Selain menyinggung sektor demokrasi, Laode juga menilai netralitas aparat penegak hukum jelang Pemilu 2024, juga mempengaruhi indeks persepsi korupsi.
"Dia (aparat penegak hukum) kan harusnya independen, harus profesional. Tetapi kalau masih seperti sekarang, itu bahkan didesain dalam pemilu pun banyak yang ditengarai mereka tidak netral seperti itu. Itu juga akan mempengaruhi corruption perception index kita," tegasnya Laode.
"Jadi, ya, memang kita harus kerja berat kalau ingin corruption perception index kita meningkat ke depan," sambungnya.
Baca Juga: Mensos Risma Tak Dampingi Jokowi Bagi Bansos, Kemensos: Semua Bantuan Disalurkan Melalui Rekening
IPK 2023
Berdasarkan hasil pengukuran Transparency International Indonesia (TII), IPK Indonesia pada 2023 menorehkan skor 34 dan menempati posisi ke 115 dari 180 negara. Angkanya masih sama dengan periode 2022.
Deputi Sekretaris Jenderal TII, Wawan Suyatmiko menyebut skor yang diperoleh tersebut menunjukkan IPK Indonesia mengalami stagnan.
"CPI Indonesia tahun 2023 berada di skor 34/100 dan berada di peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini 34/100 sama dengan skor CPI pada 2022," kata Wawan.
Skor IPK tersebut dinilai Wawan, menunjukkan respons terhadap praktik korupsi masih cenderung berjalan lambat. Disebutnya juga akan terus memburuk, karena minimnya dukungan nyata dari para pemangku kepentingan.
"Kecenderungan abai pada pemberantasan korupsi ini semakin nyata dan terkonfirmasi sejak pelemahan KPK, perubahan UU MK dan munculnya berbagai regulasi yang tidak memperhatikan nilai-nilai integritas, serta tutup mata terhadap berbagai praktik konflik kepentingan," terang Wawan.
TTI mendesak agar pemerintah dan seluruh elemennya menjamin kualitas demokrasi berjalan sesuai harapan warga negara, yang berorientasi pada pemberantasan korupsi yang berdampak pada kesejahteraan dan keadilan sosial.