Suara.com - Sejumlah sivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menyampaikan pernyataan sikap bertajuk Indonesia Darurat Kenegarawanan. Pernyataan sikap yang melibatkan dosen, mahasiswa hingga alumnus UII ini bertempat di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII, Kamis (1/2/2024) siang.
Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Fathul Wahid menegaskan bukan kali ini saja UII menyuarakan sikap atas persolaan yang tengah dialami bangsa Indonesia. Termasuk kali ini, UII memilih untuk tidak diam saja melihat situasi kondisi yang ada.
"Sangat sulit bagi UII, warga UII yang lahir dari rahim yang sama denga republik ini berkhianat kepada bangsa Indonesia. Pendiri UII adalah juga pembesut bangsa Indonesia. Sehingga perlu dipahami pernyataan sikap ini sama sekali tidak partisan," tegas Fathul.
"Ini adalah betul-betul murni seruan moral anak bangsa yang tersadarkan bahwa bangsa Indonesia, negara Indonesia masih mempunyai daftar pekerjaan rumah yang sangat-sangat panjang," sambungnya.
Selain itu, Fathul menuturkan pernyataan sikap ini sekaligus mengundang secara terbuka seluruh sivitas akademika UII. Sehingga pernyataan sikap ini tidak bersifat elitis tapi atas nama seluruh sivitas akademika Universitas Islam Indonesia.
Pernyataan sikap ini dibacakan langsung oleh Fathul, ditemani oleh sejumlah perwakilan sivitas akademika UII yang terdiri dari jajaran pimpinan universitas, yayasan, alumni hingga mahasiswa. Sejumlah poin penting dipaparkan dalam pernyataan sikap ini.
Pernyataan itu menyoroti perkembangan politik nasional dua pekan jelang pelaksanaan Pemilihan Umum 2024. Disebutkan Fathul, gejala praktik penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan oleh pemerintah tanpa rasa malu ditunjukkan.
"Kekuasaan digunakan untuk kepentingan politik praktis sekelompok golongan dengan mengerahkan sumber daya negara. Demokrasi Indonesia kian tergerus dan mengalami kemunduran," ujarnya.
Kondisi ini kian diperburuk dengan gejala pudarnya sikap kenegarawanan dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Indikator utamanya ketika pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden yang didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023.
Baca Juga: 8 Koleksi Tas Hermes Selvi Ananda, Harganya Hampir Setara 10 Kali Lipat Aset Kendaraan Gibran
Putusan yang proses pengambilannya sarat dengan intervensi politik dan dinyatakan terbukti melanggar etika hingga menyebabkan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Anwar Usman, diberhentikan.
"Gejala ini kian jelas ke permukaan saat Presiden Joko Widodo menyatakan ketidaknetralan institusi kepresidenan dengan membolehkan Presiden berkampanye dan berpihak," tuturnya.
Perkembangan terkini, distribusi bantuan sosial melalui pembagian beras dan bantuan langsung tunai (BLT) oleh Presiden Joko Widodo turut disorot. Pasalnya hal itu juga ditengarai sarat dengan nuansa politik praktis yang diarahkan pada personalisasi penguatan dukungan terhadap paslon capres-cawapres tertentu.
"Mobilisasi aparatur negara untuk kepentingan dukungan terhadap pasangan calon tertentu adalah tindakan melanggar hukum sekaligus melanggar konstitusi. Situasi di atas menjadi bukti, Indonesia sedang mengalami darurat kenegarawanan yang bisa berujung pada ambruknya sistem hukum dan demokrasi," terangnya.
Menanggapi hal itu, sivitas akademika Universitas Islam Indonesia menyatakan enam poin penting. Pertama mendesak Presiden Jokowi untuk kembali menjadi teladan dalam etika dan praktik kenegarawanan. Caranya dengan tidak memanfaatkan institusi kepresidenan untuk memenuhi kepentingan politik keluarga melalui keberpihakan pada salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden.
"Presiden harus bersikap netral, adil, dan menjadi pemimpin bagi semua kelompok dan golongan, bukan untuk sebagian kelompok," tandasnya.
Kedua, menuntut Presiden Joko Widodo beserta semua aparatur pemerintahan untuk berhenti menyalahgunakan kekuasaan dengan tidak mengerahkan dan tidak memanfaatkan sumber daya negara
untuk kepentingan politik praktis. Termasuk salah satunya dengan tidak melakukan politisasi dan personalisasi bantuan sosial.
Ketiga, menyeru Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah agar aktif melakukan fungsi pengawasan. Memastikan pemerintahan berjalan sesuai koridor konstitusi dan hukum, serta tidak membajak demokrasi yang mengabaikan kepentingan dan masa depan bangsa.
"Keempat, mendorong calon presiden, calon wakil presiden, para menteri dan kepala daerah yang menjadi tim sukses, serta tim kampanye salah satu pasangan calon, untuk mengundurkan diri dari jabatannya, guna menghindari konflik kepentingan yang berpotensi merugikan bangsa dan negara," cetusnya.
Kelima, mengajak masyarakat Indonesia untuk terlibat memastikan pemilihan umum berjalan secara jujur, adil, dan aman demi terwujudnya pemerintahan yang mendapatkan legitimasi kuat berbasis penghormatan suara rakyat.
Keenam, meminta seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama merawat cita-cita kemerdekaan dengan memperjuangkan terwujudnya iklim demokrasi yang sehat.