Suara.com - Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis mengomentari skor corupption perception index (CPI) atau indeks persepsi korupsi (IPK) yang jalan ditempat atau stagnan.
Berdasarkan hasil pengukuran Transparency International Indonesia (TII), IPK Indonesia pada 2023 menorehkan skor 34, dan angkanya masih sama dengan periode 2022.
"Angka 34, itu angka yang jelek, saya kira sih, pada zaman Jokowi-lah pemberantasan korupsi itu dibunuh," kata Todung saat menjadi salah satu pembicara dalam agenda TII di Hotel JW Marriot, Jakarta Selatan, Senin (30/1/2024).
Pada periode pertama Presiden Jokowi, IPK Indonesia disebutnya masih mengalami peningkatan. Namun pada periode kedua, Todung melihat upaya pemberantasan korupsi mulai tidak baik.
Baca Juga: Suarakan Pemakzulan, Faisal Basri: Tidak Ada Pemilu Jujur dan Adil Selama Jokowi Jadi Presiden!
"Periode kedua setelah revisi Undang-Undang KPK secara sistematis dimatikan. Saya tidak mengatakan dia tidak eksis, tapi kewenangan-kewenangan KPK itu dikerdilkan, dipreteli, sehingga dia tidak bisa efektif dalam pemberantasan korupsi," ujar Todung.
"Kalau misalnya tidak ada revisi Undang-Undang KPK, saya yakin IPK kita sudah akan naik dari 40, mungkin ke 46 atau 48. Nah ini tidak terjadi. Saya kira kita akan mencatat pemerintahan ini sebagai pemerintahan yang melemahkan pemberantasan korupsi," sambungnya.
Berdasarkan rilis TII, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia berada di skor 34/100 dan menempati posisi ke 115 dari 180 negara.
Deputi Sekretaris Jenderal TII Wawan Suyatmiko menyebut skor yang diperoleh tersebut menunjukkan IPK Indonesia mengalami stagnan.
"CPI Indonesia tahun 2023 berada di skor 34/100 dan berada di peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini 34/100 sama dengan skor CPI pada 2022," kata Wawan.
Baca Juga: Jokowi Disindir Butet Kartaredjasa Saat Kampanye Ganjar-Mahfud, Begini Reaksi Istana
Skor IPK tersebut dinilai Wawan, menunjukkan respons terhadap praktik korupsi masih cenderung berjalan lambat. Disebutnya juga akan terus memburuk, karena minimnya dukungan nyata dari para pemangku kepentingan.
"Kecenderungan abai pada pemberantasan korupsi ini semakin nyata dan terkonfirmasi sejak pelemahan KPK, perubahan UU MK dan munculnya berbagai regulasi yang tidak memperhatikan nilai-nilai integritas, serta tutup mata terhadap berbagai praktik konflik kepentingan," terang Wawan.
TTI mendesak agar pemerintah dan seluruh elemennya menjamin kualitas demokrasi berjalan sesuai harapan warga negara, yang berorientasi pada pemberantasan korupsi yang berdampak pada kesejahteraan dan keadilan sosial.