Presiden Jokowi Dinilai Tak Langgar Hukum dan Etika Terkait Pernyataan Keberpihakan dan Kampanye Pemilu

Iwan Supriyatna Suara.Com
Kamis, 25 Januari 2024 | 11:34 WIB
Presiden Jokowi Dinilai Tak Langgar Hukum dan Etika Terkait Pernyataan Keberpihakan dan Kampanye Pemilu
Presiden Jokowi dan Prabowo di Lanud Halim Perdanakusuma, Rabu (24/1/2024). (Suara.com/Novian)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pergerakan Advokat Untuk Transformasi Hukum Indonesia (PATHI) membela pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut seorang presiden maupun menteri boleh berkampanye pada pelaksanaan pemilu. Menurut deklarator PATHI Yudo Prihartono, presiden tidak melanggar hukum dan etika terkait pernyataannya tersebut.

"Merespon pandangan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti yang menilai pernyataan Joko Widodo bahwa presiden dan menteri dapat memihak dan berkampanye dalam pemilihan umum (pemilu), sepanjang tidak ada penyalahgunaan fasilitas negara sebagai suatu pernyataan yang melanggar hukum dan etika, maka kami Pergerakan Advokat Untuk Transformasi Hukum Indonesia (PATHI) menolak dengan tegas pandangan tersebut," kata Yudo ditulis Kamis (25/1/2024).

Sebelumnya, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menanggapi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan presiden dan menteri boleh memihak serta kampanye dalam pemilu. Menurut dia, keberpihakan presiden dan menteri justru melanggar hukum dan etik.

Menurut Bivitri, anggapan regulasi membolehkan presiden dan menteri berpihak itu salah.

"Mungkin Pak Jokowi mengacu ke Pasal 282 UU Pemilu, tapi sebenarnya ada Pasal 280, Pasal 304, sampai 307," ujar dia.

Pasal-pasal itu, Bivitri mengatakan, membatasi dukungan dari seorang presiden dan pejabat-pejabat negara lainnya untuk mendukung atau membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon.

"Jelas pernyataan ini melanggar hukum dan melanggar etik," ucap dia.

Menurut PATHI, pandangan tersebut menunjukkan ketidakpahaman Bivitri Susanti terhadap ketentuan pasal 28 C Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pasal 23 ayat 1 UU Hak Asasi Manusia (HAM), dan secara khusus pasal 281 UU Pemilu.

Secara hukum, ketentuan pasal 282 UU Pemilu yang memuat larangan bagi pejabat negara, pejabat struktural, pejabat fungsional dan kepala desa untuk membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu dalam masa kampanye, haruslah dibaca dengan “Penafsiran Sistematis” dengan ketentuan Pasal 281 UU Pemilu, yang telah mengecualikan bahwa Presiden, Menteri dan Kepala Daerah dapat diikutsertakan dalam Kampanye Pemilu dengan segala ketentuan terkait.

Baca Juga: Cuma Butuh 3 Bulan Buat Jokowi Mengubah Pernyataannya 180 Derajat, Sampai Dapat Julukan Khusus

"Kampanye Pemilu itu sudah pasti merupakan “tindakan” yang menguntungkan salah satu peserta pemilu dan dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan, sepanjang tidak menyalahgunaan fasilitas negara. Harusnya Bivitri memahami substansi dan penafsiran sistematis atas pasal-pasal tersebut," kata Yudo.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI