Suara.com - Calon wakil Presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka pada debat Pilpres 2024 yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (21/1) sempat singgung gerakan Rompi Kuning di Prancis.
"Greenflation itu, kita kasih contoh yang simple saja. Demo rompi kuning di Prancis. Bahaya sekali. Sudah memakan korban. Ini yang harus diantisipasi. Jangan sampai terjadi di Indonesia. Belajar dari negara maju," kata Gibran kepada Mahfud MD saat bahas perihal greenflation.
Lantas benarkah gerakan Rompi Kuning di Prancis disebabkan adanya dampak greenflation?
Baca Juga:
- Tak Hanya Jago Ngomong dan Main Game, Ternyata Alam Ganjar Bisa Breakdance
- Viral Emak-emak Susuri Jalan Pedesaan Pasang Spanduk AMIN Secara Swadaya
- Terkuak! Bawaslu Kota Bekasi Ungkap Pihak yang Turunkan Videotron Anies Baswedan
Mouvement des Gilets jaunes alias gerakan Rompi Kuning terjadi sejak 17 November 2018. Gerakan ini berlangsung sampai sekarang di Prancis.
Gerakan ini kemudian juga menginspirasi gerakan sejenis di sejumlah negara di Eropa seperti Belgia dan Belanda. Mengutip dari laporan Le Monde, ada sejumlah faktor yang menyebabkan pecahnya Gerakan Rompi Kuning di Prancis.
Gerakan yang diinisiasi oleh kelas pekerja di Prancis ini awalnya disebabkan rasa khawatir dengan adanya kebijakan kenaikan harga bahan bakar tidak sebanding dengan beban hidup tidak proposional antara pajak yang dibebankan kepada kelas pekerja dan kaum menengah.
Para kaum pekerja berrompi kuning ini kemudian turun ke jalan untuk menuntut Presiden Prancis, Emmanuel Macron untuk turun dari jabatannya. Para kaum pekerja turun ke jalan dengan gunakan rompi kuning sebagai simbol perlawanan.
Hal ini dikarenakan sejak 2008, di Prancis ada kebijakan gunakan rompi kuning untuk para sopir memakainya, jika tidak akan mendapat sanksi hukum.
Baca Juga: Gibran Pakai Sepatu Seharga Seratus Ribu Saat Debat Cawapres
Selain disebabkan karena kebijakan kenaikan harga bahan bakar, gerakan rompi kuning juga didorong karena penerapan pajak karbon.