Suara.com - Tahun 2023 menjadi sejarah kelam bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Titik terendahnya, ketika Polda Metro Jaya pada Rabu 22 November, menetapkan Firli Bahuri yang menjabat ketua KPK sebagai tersangka dugaan korupsi.
Firli diduga melakukan korupsi berupa pemerasan ke Syahrul Yasin Limpo (SYL) saat masih menjabat sebagai Menteri Pertanian. Pemerasan itu terkait dengan penanganan kasus korupsi di Kementerian Pertanian.
Status Firli mencetak sejarah dalam upaya pemberatasan korupsi di Indonesia, khususnya KPK sebagai lembaga penegak hukum. Sejak KPK berdiri pada 2003, baru kali ini pemimpin tertingginya menjadi tersangka dugaan korupsi.
Status Firli sebagai tersangka, direspons Presiden Joko Widodo dengan menonaktifkannya sebagai ketua. Kemudian melantik Nawawi Pomolango sebagai ketua sementara di Istana Negara, Jakarta pada 27 Oktober.
Baca Juga: Baru Diteken, Keppres Jokowi Berhentikan Firli Bahuri Bakal Digugat
Tak terima ditetapkan sebagai tersangka, purnawirawan polisi jenderal bintang tiga itu mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 24 November. Namun perlawanan Filri harus kandas, 19 Desember 2023, hakim memutuskan tak menerima praperadilannya.
Dua hari setelah itu, tepatnya pada 21 Desember, Filri mengumumkan pengunduran dirinya sebagai ketua KPK. Dia mengaku telah mengirimkan surat pengunduran dirinya kepada presiden pada 18 Desember.
Namun surat itu harus direvisi, sebab Firli menggunakan kata 'berhenti' bukan 'mengundurkan diri.' Akhirnya setelah melakukan perbaikan, surat pengunduran diri kembali dikirimkannya pada 22 Desember.
Bersamaan dengan perkaranya pidananya, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) juga mengusut pelanggaran etik Firli. Lima Anggota Dewas KPK menyepakiti Filrli melakukan pelanggaran etik berat, karena berkomunikasi dan melakukan pertemuan dengan SYL. Sebagai sanksi atas perbuatannya Firli diminta mengundurkan diri.
Selain itu, Firli juga terbukti melakukan pelanggaran etik, karena tak jujur melaporkan hartanya di dalam LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara). Harta yang tidak dilaporkannya berupa kepemilikan vala senilai Rp 7,8 miliar, tujuh tanah dan bagunan yang dibeli menggunakan atas nama istrinya.
Baca Juga: Rekam Jejak Mentereng Firli Bahuri, Resmi Diberhentikan Jokowi dari Ketua KPK
Tinggal hitungan hari menuju 2024, pada 28 Desember, berakhir pula karier Firli di KPK. Presiden Joko Widodo resmi memberhentikannya. Salah satu pertimbangannya, putusan Dewas KPK yang menyatakan Firli melakukan pelanggaran etik berat.
Asusila hingga Korupsi di Internal KPK
Ikan busuk mulai dari kepala. Pimpinan bermasalah, bawahannya juga bermasalah. Pepatah yang tepat menggambar situasi di KPK sepanjang 2023.
Sebelum prahara Filri Bahuri, sejumlah perkara juga terjadi di internal lembaga KPK. Wakil Ketua KPK Johanis Tanak juga tersangkut dugaan pelanggaran etik. Tanak adalah pengganti Lili Pintauli Siregar, wakil ketua KPK yang mengundurkan diri usai tersandung dugaan penerimaan gratifikasi.
Dalam perkaranya, Tanak diduga berkomunikasi dengan Plh Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Muhammad Idris Froyoto Sihite, pihak yang sedang berperkara di KPK.
Pada Senin 19 Juni, empat anggota Dewas KPK menyepakati Tanak tak terbukti bersalah melakukan pelanggaran etik. Namun Anggota Dewas KPK Albetina Ho menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda.
Albertina yang merupakan mantan hakim, menyakini Tanak bersalah melakukan pelanggaran etik dengan berkomunikasi denggan Idris Sihite, sehingga menimbulkan konflik kepentingan.
Masih pada bulan Juni, Dewas KPK mengungkap adanya pungutan liar atau pungli di lingkungan Rumah Tahanan atau Rutan KPK. Perkara ini melibatkan puluhan petugas rutan. Angkanya ditaksir mencapai Rp 4 miliar, dan diduga sudah berlangsung lama.
Pungli agar para tersangka korupsi mendapatkan fasilitas lebih saat ditahanan, seperti memiliki handphone, mendapatkan makanan lebih, dan tidak ikut bersih-bersih.
Kasus pungli itu juga terungkap bersamaan dengan adanya perkara dugaan pelecehan seksual yang dilakukan petugas rutan KPK berinisial M kepada istri seorang tahanan korupsi. M diduga melakukan panggilan telepon video sex kepada korban.
Kasus ini pun berakhir dengan sanksi etik yang dijatuhkan Dewas KPK kepada M berupa permintaan maaf secara terbuka dan tidak langsung.
Seolah tak ada habisnya, terungkap pula kasus dugaan korupsi yang dilakukan pegawai KPK berinisial NAR di bagian adminitrasi. NAR diduga menilep uang perjalanan dinas luar kota penyidik KPK hingga mencapai Rp 550 juta.
Modusnya, NAR diduga melakukan memanifulasi biaya perjalanan dinas luar kota. Salah satu sumber Suara.com di internal KPK menyebut cara yang diduga dilakukan NAR, dengan memanifulasi jumlah tiket pesawat, hotel, penyewaan kendaraan, dan uang makan.
Uang itu kemudian diduga digunakan NAR untuk berlibur dan berbelanja. Pada 21 September, KPK mengambil tindakan dengan memecatnya.
Kedua kasus korupsi dan pungli itu belum menemukan titik untuk pertanggung jawaban pidananya. Terakhir pada 6 Desember, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menyebut, dua perkara itu masih dalam proses penyelidikan, alias belum ada tersangka yang ditetapkan.
Lukas Enembe hingga Pamer Berujung Pidana
Meski diwarnai persoalan internal, namun sejumlah upaya penindakan masih ada yang berjalan di KPK. Pada awal 2023, tepatnya 10 Januari, KPK menangkap Lukas Enembe karena melakukan korupsi saat menjabat gubernur Papua. Lukas baru ditangkap setelah dinyatakan sebagai tersangka pada September 2022.
Dalam persidangan Lukas Enembe didakwa melakukan korupsi berupa penerimaan suap dan gratifikasi senilai Rp 46,8 miliar. Selain itu dia juga menjadi tersangka tindak pidana pencucian uang. Pada persidangan juga terungkap perilaku Lukas yang bermain judi di Siangpura.
Pada 19 Oktober, Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 500 juta kepada Lukas. Selain itu, hak politiknya dicabut selama lima tahun.
Namun Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberatkan hukumannya dari 8 menjadi 10 tahun usai dirinya mengajukannya banding.
Belakangan, Lukas Enembe menghembuskan nafas terkahirnya di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto (RSPAD), Jakarta pada 26 Desember.
Setelah Lukas, KPK menangani sejumlah kasus korupsi yang fenomenal. Perkaranya berawal dari peristiwa viral di media sosial.
Dimulai dengan Rafael Alun Trisambodo, mantan pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan. Rafael harus berurusan dengan KPK, berawal dari penganiayaan berat yang dilakukan putrannya, Mario Dandy Satrio terhapa remaja, bernama David.
Publik mempertanyakan gaya hidup mewah putranya yang kerap dipamerkan di media sosial. Mario saat datang untuk melakukan penganiayaan ke David menggunakan mobil Jeep Robicon.
Publik yang geram akan tingkah Mario, memviralkan gaya hidup mewah keluarganya yang diduga tidak berkesuain dengan profil Rafael sebagai pejabat pajak.
KPK lantas merespons dengan memanggil Rafael untuk diklarifikasi LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) miliknya. Menemukan ada janggal, Rafael dijadikan tersangka dan ditahan sejak 3 April 2023.
Dalam persidangan Rafael didakwa menerima gratifikasi Rp 16,6 miliar bersama istrinya, Ernie Meike Torondek dan pencucian uang sekitar Rp 100 miliar. Pada persidangan 11 Desember, Rafael dituntut Jaksa KPK 14 tahun penjara.
Bagaikan efek domino, pamer berujung jadi tersangka korupsi kemudian menyasar Mantan Kepala Bea dan Cukai Makassar Andhi Pramono. Dia diumumkan KPK sebagai tersangka pada 12 Juni dan ditahan sejak 7 Juli.
Kasusnya juga berawal dari perilaku anak dan istrinya yang kerap menampilkan gaya hidup mewah menggunankan barang-barang dari merek internasional. Pada persidangan, Andhi didakwa melakukan dugaan korupsi berupa penerimaan gratifikasi Rp58,8 miliar selama 11 Tahun.
Masih di lingkungan Kementerian Keungan, ada nama mantan Kepala Bea dan Cukai Yogyakarta Eko Darmanto. Kasusnya juga sama berawal dari gaya hidup mewahnya yang viral di media sosial. Dari sejumlah foto yang beredar menunjukkan Eko berposes bersama kendaraan mewah.
Dia dijadikan tersangka dan ditahan KPK sejak 8 Desember 2023. Eko diduga melakukan korupsi berupa penerimaan gratifikasi senilai Rp 18 miliar.
Penetapan mantan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka juga menjadi salah satu kasus korupsi yang menarik perhatian publik.
Kasus ini berawal saat KPK melakukan operasi tangkap tangan atau OTT kepada Letkol Afri Budi Cahyanto, anak buah Henri pada 25 Juli. Setidaknya sejumlah orang tertangkap.
Henri bersam anak buahnya diduga menerima suap senilai Rp 88 miliar dari sejumlah pengusaha terkait dengan pengadaan barang dan jasa di Basarnas. KPK yang mengumumkan Henri dan sejumlah pihak swasta sebagai tersangka harus meminta maaf kepada TNI.
Permohonan maaf itu disampaikan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak pada 28 Juli, usai didatangi sejumlah petinggi Pusat Polisi Militer (Puspom TNI) di Gedung Merah Putih KPK.
Tanak mengaku ada kekhilafan dari penyidik dan penyilidik KPK dalam memutuskan Henri dan Afri sebagai tersangka. Dia berdalih sesuai dengan Undang-Undang, kewenangan hukum pidana keduanya harusnya ditangani Puspom TNI dan diadili di Pengadilan Militer.
Selanjutnya kasus korupsi yang menjerat Sekretaris Mahkamah Agung (MA) nonaktif Hasbi Hasan. Dia dijadikan tersangka dan ditahan sejak 12 Juli. Dia dijadikan tersangka dugaan korupsi berupa penerimaan suap dalam pengurusan perkara di MA.
Pada persidangan, Jaksa KPK mendawka Hasbi Hasan menerima suap Rp 12,2 miliar dan gratifikasi Rp 630 juta. Kasus ini pun semakin menarik perhatian publik, karena menyeret nama penyanyi Windi Yunita Bastari Usman alias Windi Idol.
Pada persidangan disebutkan dari penerimaan gratifikasi, salah satunya digunakan Hasbi Hasan dan Windy Idol menaiki hilikopter untuk mengelilingi bali.
Kemudian kasus korupsi mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Dalam kasus ini SYL ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan usai ditangkap pada 12 Oktober.
SYL jadi tersangka bersama Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) Muhammad Hatta, dan Sekjen Kementan Kasdi Subagyono.
Ketiganya diduga melakukan korupsi berupa pemerasan dalam jabatan, bersama-sama menyalahgunakan kekuasaan dengan memaksa memberikan sesuatu untuk proses lelang jabatan, termasuk ikut serta dalam pengadaan barang dan jasa disertai penerimaan gratifikasi.
SYL diduga memerintahkan Hatta dan Kasdi menarik setoran senilai USD 4.000-10.000 atau dirupiahkan Rp 62,8 juta sampai Rp 157,1 juta (Rp15.710 per dolar AS pada 11 Oktober 2023) setiap bulan dari pejabat unit eselon I dan eselon II di Kementan.
Uang itu berasal dari realisasi anggaran Kementan yang di-mark up atau digelembungkan, serta setoran dari vendor yang mendapatkan proyek. Kasus korupsi yang menjerat Syahrul terjadi dalam rentang waktu 2020-2023. Temuan sementara KPK menyebutkan ketiganya diduga menikmati uang haram sekitar Rp 13,9 miliar.
Penatapan SYL sebagai tersangka di KPK, yang juga menjadi awal penguusutan dugaan pemerasaan yang dilakukan Firli Bahuri, hingga jadi tersangka di Polda Metro Jaya.
Kasus selanjutnya masih dari lingkungan Kabinet Indonesia Maju Presiden Joko Widodo, yakni Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej. Saat menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy diduga melakukan korupsi berupa penerimaan suap dan gratifikasi dari senilai Rp 8 miliar dari Direktur Utama PT Cirta Lampia Mandiri (CLM) Helmut Hermawan.
Pemberian uang itu untuk menyelesaikan tiga perkara Helmut di Kementerian Hukum dan HAM, serta Bareskrim Polri. Uang itu diterima Eddy bersama dua anak buahnya, Yosi Andika Mulyadi, dan Yogi Arie Rukmana. Eddy diumumkan secara resmi sebagai tersangka pada 7 Desember 2023.
KPK belum melakukan penahanan terhadap Eddy dan anak buahnya. Penyidik baru menahan Helmut selaku pemberi suap dan gratifikasi.