"Masalah yang PMI hadapi termasuk meninggal, sakit, klaim asuransi, pekerjaan tidak sama dengan perjanjian kerja, didiskriminasi oleh majikan, dieksploitasi oleh agensi swasta dan lain-lain," kata Ismail.
Padahal, data Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taipei (TETO) mencatat saat ini jumlah tenaga kerja asing (TKA) di Taiwan mencapai 728 ribu dan sepertiganya adalah para pekerja asal Indonesia.
Meski jadi penyumbang tenaga kerja cukup dominan, ratusan PMI di Taiwan belum mendapat kenyamanan dalam bekerja. Mereka berada dalam bayang-bayang ancaman agensi dan majikan yang kerap memperlakukannya sewenang-wenang.
Ancaman demi ancaman yang Dilontarkan agensi swasta ini memaksa ratusan PMI turun ke jalan menggelar aksi unjuk rasa dengan melayangkan tuntutan dengan mendesak pemerintah Taiwan untuk menyikapi masalah terkait hak-hak dasar yang seharusnya layak PMI dapatkan di Teipei pada 13 November 2023 lalu.
"Meskipun tuntutan PMI disampaikan, tapi kondisinya belum diperbaiki. Sebenarnya pemerintah Taiwan sebelumnya telah berkomitmen untuk melindungi hak TKA. Tapi sampai saat ini konflik antara agensi dan TKA makin tajam, salah satunya PMI," paparnya.
Aksi unjuk rasa itu nyatanya belum cukup membuahkan hasil, sehingga para PMI kembali menggelar aksi demonstrasi dengan eskalasi lebih besar yakni melibatkan para pekerja migran dari berbagai negara untuk menuntut tuntutan yang sama.
Pada tanggal 10 Desember 2023, ratusan PMA di Taiwan turun ke jalan untuk kembali mendesak pemerintah Taiwan mengambil tanggung jawab terhadap masalah perekrutan lintas negara dan menghapus sistem agensi swasta.
"Sejumlah PMA yang dari Indonesia dan Filipina melaksanakan unjuk rasa di sekitar gedung Pusat Direct Hiring Kementerian Ketenagakerjaan di Taipei agar menuntut pemerintah Taiwan dapat menggantikan sistem agensi swasta dengan sistem G to G," tutupnya.
Baca Juga: Tuntutan dan Ekspektasi: Apa yang Kini Dirasakan oleh Para Fresh Graduate