Suara.com - Mantan Komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan, terpidana korupsi pergantian antar waktu (PAW) Anggota DPR RI, mempertanyakan KPK bisa menangkap dirinya, namun tidak dapat menangkap Harun Masiku yang sudah buron hampir tiga tahun.
Hal itu disampaikannya, usai menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk Harun Masiku, mantan caleg PDIP tersangka yang memberikan suap kepadanya.
"Saya juga mempertanyakan, kenapa KPK tidak segera menangkap Harun Masiku? KPK kan bisa menangkap saya, kenapa Harun Masiku tidak bisa ditangkap?" kata Wahyu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta , Kamis (28/12/2023).
Wahyu diperiksa penyidik KPK sebagai saksi untuk Harun Masiku. Penyidik mencecar soal informasi keberadaan Harun Masiku.
Baca Juga: Mendadak Periksa Saksi Penting, KPK Sudah Tangkap Buronan Harun Masiku?
"Kalau saya tahu, saya tangkap-lah! Membantu KPK," tegasnya.
Pemeriksaan dilakukan KPK, usai penyidik melakukan penggeledahan di rumahnya pada Selasa 12 Desember 2023. Harun mengaku saat penggeledahan, tak berada di rumahnya.
"Kemudian keluarga saya menelepon saya, memberi tahu. Itu salah satu hal yang tadi saya tanyakan kepada penyidik, ternyata itu terkait dengan pencarian Harun Masiku," katanya.
Saat rumahnya digeledah, Wahyu menyebut tidak ada barang-barang yang diamankan,.
"Tidak ada bukti yang terkait dengan itu. Saya sudah sampaikan semua," ujarnya.
Baca Juga: Game Buatan Anak Indonesia, Paw Rumble Raih Penghargaan Google Play 2023
Harun Masiku Buron 3 Tahun
Harun Masiku telah buron sekitar tiga tahun. Dia ditetapkan sebagai tersangka penyuap mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan pada Januari 2020. Suap itu dilakukannya untuk lolos ke DPR RI melalui pergantian antar waktu (PAW).
Pada kasus ini, KPK menetapkan 4 orang tersangka. Wahyu Setiawan selaku penerima suap telah divonis penjara selama 7 tahun dan denda Rp 200 juta pada 2021.
Namun saat ini, Wahyu telah dinyatakan bebas secara bersyarat terhitung sejak 6 Oktober 2023.
Sementara Saeful Bahri dan Agustiani sebagai perantara juga telah divonis. Saeful Bahri dipidana satu tahun delapan bulan penjara dan denda Rp 150 juta subsider empat bulan kurungan. Sedangkan Agustiani empat tahun penjara dan denda Rp 150 juta, subsider empat bulan kurungan.