Tradisi Nyekar di Pemakaman Gereja Tugu Cilincing, Kuburan Tua Warga Keturunan Portugis

Erick Tanjung Suara.Com
Minggu, 24 Desember 2023 | 16:59 WIB
Tradisi Nyekar di Pemakaman Gereja Tugu Cilincing, Kuburan Tua Warga Keturunan Portugis
Warga membersihkan nisan dalam tradisi nyekar menjelang malam perayaan Natal di Pemakaman Gereja Tugu, Cilincing, Jakarta Utara, Minggu (24/12/2023). (Antara/Sugiharto Purnama)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sejumlah warga menggelar tradisi nyekar dengan membersihkan nisan dan menaburkan bunga di Pemakaman Gereja Tugu yang berlokasi di Kelurahan Sempet Barat, Cilincing, Jakarta Utara, Minggu (24/12/2023).
 
Tradisi itu rutin dilakukan menjelang pernyataan Natal karena saat malam hari para kerabat biasanya datang dengan membawa lilin sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur yang terhubung garis keturunan.
 
"Sekarang dibersihkan karena nanti malam ada tabur bunga dan menyalakan lilin," kata Flora, peziarah saat ditemui di Pemakaman Gereja Tugu, Jakarta Utara, Minggu.
 
Flora datang ke sana dengan anak laki-lakinya. Dia bolak-balik mengangkut air dari bak yang hanya lima langkah dari makam keluarganya.
 
Nisan dan keramik makam yang penuh debu dan lumut, dia gosok pakai tangan agar kembali bersih dan mengkilap. Setelah itu air yang berada di dalam ember disiramkan ke makam-malam.

Pemakaman Gereja Tugu merupakan kompleks peristirahatan terakhir bagi orang-orang keturunan Portugis yang masih bermukim di Kampung Tugu, Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.
 
Kawasan itu dipayungi oleh pepohonan dikotil berukuran besar dan berdaun lebar yang menciptakan suasana teduh.
 
Pendeta Eddy Rudolf Rade mengatakan dalam perayaan Natal ada dua kegiatan yang saling berkaitan yaitu ibadah dan tradisi nyekar.
 
Tradisi itu dilakukan oleh warga Kampung Tugu. Setiap malam Natal, sejak sore hari mendekati remang-remang, mereka membawa lilin dan meletakkannya di atas makam sembari menaburkan bunga.
 
"Itu (tradisi) masyarakat sekitar sini. Jemaat juga ada, tetapi yang bukan jemaat dari gereja lain juga ada, jadi itu terlepas dari ibadah. Mungkin, ibadah jam 5 sore mereka ikut, nanti jam 6 mereka nyekar atau habis dari jam 8 malam baru mereka nyekar ke makam," tutur Eddy.

Berdasarkan catatan sejarah, Kampung Tugu merupakan salah satu kampung tertua di Jakarta dan ditempati oleh nenek moyangnya (generasi pertama warga negara Portugis) sejak tahun 1661.
 
Bangunan Gereja Tugu yang saat ini berdiri bukan merupakan bangunan pertama dari Gereja Tugu.
 
Ketika orang-orang Tugu tiba di Kampung Tugu pada tahun 1661, ibadah mereka masih dilayani oleh Jemaat Portugis di Jakarta (sekarang Gereja Sion).
 
Pada tahun 1678 Pendeta Melchior Leydecker lantas membangun sebuah gereja yang pertama di luar Jakarta. Selain digunakan untuk kegiatan ibadah, gedung itu juga digunakan untuk sekolah.

Pada 1680 orang Kristen di Tugu mencapai 800 jiwa. Tahun 1700 terjadi wabah influenza yang parah dan menewaskan banyak penduduk Tugu.
 
Gereja Tugu kedua dibangun pada tahun 1738 untuk menggantikan gedung gereja pertama yang sudah rusak.
 
Pada 1740 bangunan gedung Gereja Tugu tahap II mengalami kerusakan saat terjadi pemberontakan etnis Tionghoa (China Onlusten) dan pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia, saat Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier berkuasa di Batavia pada 1737–1741.
 
Pada tahun 1737 renovasi Gereja Tugu kembali dilakukan di bawah pimpinan Pendeta Van De Tydt yang dibantu oleh  pendeta keturunan Portugis kelahiran Lisabon bernama Ferreira d’Almeida dan orang-orang Mardijkers.
 
Pada yahun 1744 atas bantuan seorang tuan tanah yang bermukim di Cilincing bernama Yustinus Vinck, gereja itu dibangun kembali dan baru selesai pada 29 Juli 1747 yang kemudian diresmikan pada tanggal 27 Juli 1748 oleh pendeta J.M. Mohr. (Antara)

Baca Juga: Klakson Motor Jadi Pemicu Penganiayaan, Mahasiswi di Jakarta Utara Alami Luka-luka

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI