Suara.com - Baru-baru ini, nama Menteri Perdagangan RI Zulkifli Hasan sedang trending di media sosial. Lantaran pidatonya yang membahas mengenai gerakan salat.
Isu Zulhas menggunakan Kemendag sebagai kendaraan politik mencapai klimaksnya usai pidatonya viral.
Zulhas waktu itu mengisi pidato di rapat kerja nasional (rakernas) Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) di Kota Semarang, Selasa (19/12/23) kemarin.
Zulhas kala itu hadir sebagai Mendag. Alih-alih membahas soal isu perdagangan, Zulhas malah membahas soal politik.
Salah satu celetukannya yang viral yakni tak mengucap 'Amin' setelah membaca Al-Fatihah. Diketahui frasa 'Amin' sekarang menjadi akronim pasangan calon Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin)
"Saya keliling daerah Pak Kiai, sini aman, Jakarta nggak ada masalah. Yang jauh-jauh ada lho yang berubah. Jadi kalau salat magrib baca Al-fatihah waladholin, ada yang diem sekarang pak," bunyi cuplikan pidato Zulhas.
Zulhas juga dikecam gegara gestur mengganti tahiyat akhir yang mengangkat satu jari (gestur nomor urut Anies-Cak Imin) dengan mengangkat dua jari (gestur nomor urut Prabowo-Gibran).
"Saking cintanya sama Pak Prabowo itu, kalau tahiyatul akhir awalnya gini pak yai (nunjuk satu jari) sekarang jadi gini (nunjuk dua jari," celetuk Zulhas.
Dari beredarnya kabar ini pun lantas muncul berbagai macam asumsi. Mulai dari penistaan agama hingga isu netralitas yang dipertanyakan oleh publik.
Baca Juga: DPP CMMI Batal Laporkan Zulhas ke Mabes Polri, Apa Sebabnya?
Mengingat dalam konteks pidato ini Zulhas secara terang-terangan menunjukan keberpihakannya. Padahal kala itu ia sedang berpidato sebagai Mendag. Lantas apakah ini termasuk pelanggaran netralitas sebagai ASN? Berikut ulasannya.
Pidato Zulhas Termasuk Pelanggaran Kampanye?
Diketahui, tim gabungan Bawaslu Jawa Tengah masih menelusuri ada tidaknya pelanggaran kampanye dalam pembukaan rakernas APPSI tersebut.
Namun kejadian ini lantas menarik perhatian dari salah seorang peneliti politik dari BRIN, Wasisto Raharjo Jati. Menurutnya kejadian seperti ini bak seperti dilema berulang bagi pejabat publik ketika memasuki musim kampanye politik.
"Pemosisian menjadi hal krusial, karena batasan antara pejabat publik maupun politisi it beda tipis ketika berbicara di suatu forum publik," jelasnya.
"Selain itu pula diatur, kalau pejabat negara itu dilarang menunjukan keberpihakan pada figur tertentu," tandasnya.
Alasan ASN Harus Netral
Tentu saja ada beberapa alasan mendasar yang membuat ASN harus netral saat Pemilu. Salah satunya yang paling familiar adalah mencegah konflik kepentingan.
Netralitas ASN penting untuk memastikan tidak ada penggunaan fasilitas negara dalam upaya menyongkong peserta pemilu.
Di sisi lain, merujuk pada laman resmi Bawaslu, ASN diharuskan untuk netral karena statusnya sebagai pegawai pemerintah yang sangat mengikat. Artinya, ASN diangkat agar menjalankan tanggung jawabnya kepada publik, bukan untuk kepentingan suatu golongan atau parpol tertentu.
Pentingnya sikap netral dari ASN pun dijelaskan dengan tegas dalam UU Aparatur Sipil Negara. Pasal 2 UU ASN Nomor 5 Tahun 2014 yang berisi ketentuan bahwa salah satu asas dalam kebijkaan dan Manajemen ASN adalah netralitas.
Aturan ASN Harus Netral
Aturan mengenai ASN yang harus netral dalam pemilu secara jelas tercantum di beberapa regulasi. Netralitas yang dimaksud dalam pemilu adalah ASN tidak boleh menunjukkan keberpihakan pada kandidat atau partai yang menjadi peserta pemilihan umum.
Hal itu pun sudah tertuang pada Undang-Undang ASN Nomor 5 Tahun 2014 (sebagian isinya telah diubang dengan UU ASN yang disahkan oleh DPR RI 3 Oktober 2023). Kendati demikian, bukan berarti ASN tidak boleh ikut pemilu. Mereka tetap memiliki hak pilih dalam pemilu, namun harus bersikap netral.
Hal ini sesuai dengan pasal 9 UU ASN 5/2014 yang menyebutkan bahwa ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi politik. Aturan netralitas ASN di pemilu juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS.
Maka dari itu, PP mengatur bahwa PNS melanggar kewajiban netralitas politik dan pemilu dapat dikenai sanksi disiplin.
Berdasarkan UU ASN 5/2015 tindakan ASN yang dianggap tidak netral adalah dengan ikut serta dalam politik praktis. Itu artinya ia tidak boleh bergabung dengan anggota maupun pengurus partai politik.
Selain itu, politik praktis yang dimaksud dalam UUS ASN juga bisa berupa dalam beberapa tindakan yang menunjukkan keberpihakan, termasuk ikut kegiatan kampanye hingga menunjukkan dukungan lewat unggahan media sosial.