Hari Ibu merupakan momentum untuk mengenang perjuangan pergerakan perempuan dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama pada 22 Desember 1928 di Ndalem Joyodipuran, Yogyakarta.
Saat itu, ada sekitar 600 perempuan dan ibu yang berasal dari 30 organisasi perempuan di Jawa dan Sumatra yang berkumpul.
Mereka mendiskusikan upaya untuk meningkatkan derajat dan kiprah perempuan dalam gerakan bangsa. Melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959, Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu.
Di era Orde Baru, rezim Soeharto mereduksi hak-hak perempuan terutama hak-hak politiknya. Rezim ini mendirikan organisasi perempuan Dharma Wanita Persatuan yang bertugas mengontrol dan mengawasi kegiatan perempuan.
Orde Baru mendiskriminasi pekerja perempuan dengan gaji yang jauh di bawah gaji laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Sejumlah perempuan yang bersuara kritis dan berani membela hak-hak kaum perempuan berujung pada kematian tragis.
Diketahui, hadir sebagai pembicara pembuka yakni, Ketua Bidang Kesehatan, Perempuan dan Anak DPP PDI Perjuangan, Sri Rahayu, Ketua DPP PDIP bidang Penanggulangan Bencana, Ribka Tjiptaning.
Kemudian peneliti feminis yang juga mantan Dr. Ruth India Rahayu, Ketua Prodi S1 Ilmu Politik Fisip UI, Dr. Nurul Nurhandjati.
Diskusi juga diisi oleh perwakilan mahasiswa, Dandi dari Universitas Nasional (Unas), dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.