Suara.com - Covid-19 kembali merebak lagi, termasuk di Indonesia. Gejala yang lazim dialami adalah batuk, sakit kepala, atau demam selama seminggu yang diikuti dengan rasa lelah yang berkepanjangan.
Penting untuk ditekankan bahwa Covid-19 selalu menimbulkan beragam gejala. Bahkan sebelum adanya vaksin, beberapa orang tidak sakit atau tidak menunjukkan gejala apa pun.
Bagi sebagian dari kita, Covid hanyalah pilek - bahkan tidak cukup untuk membuat Anda mencari-cari tes swab.
Namun para ilmuwan spesialis sistem kekebalan tubuh memperingatkan bahwa Covid masih bisa menyebabkan sakit parah yang mungkin lebih buruk dari sebelumnya dan membuat kita ‘tumbang’ selama berminggu-minggu.
Baca Juga: Kasus Covid-19 di Jakarta Melonjak Lagi, Yuk Buruan Suntik Vaksin Dosis Kelima, Gratis!
Lantas, apa yang terjadi?
Bagaimana keadaan kita setelah terpapar Covid bergantung pada pertarungan antara virus dan pertahanan tubuh kita.
Tahapan awal sangat penting karena menentukan seberapa besar virus dapat masuk ke dalam tubuh kita, dan seberapa parah dampaknya.
Namun, melemahnya kekebalan tubuh dan berkembangnya virus menjadi faktor penentu.
Menyitat BBC Indonesia, Senin (18/12/2023), Profesor Eleanor Riley, seorang ahli imunologi di Universitas Edinburgh, juga pernah mengalami serangan Covid yang "mengerikan" dan "jauh lebih buruk" dari yang diperkirakan.
Baca Juga: Kasus COVID-19 di Indonesia Naik Signifikan, Sehari Bertambah 200 Pasien Baru
Dia mengatakan kepada saya: "Tingkat antibodi masyarakat terhadap Covid mungkin sekarang sama rendahnya dengan masa ketika vaksin pertama kali diperkenalkan."
Antibodi ibarat rudal mikroskopis yang menempel pada permukaan virus dan menghentikannya menginfeksi sel-sel tubuh kita.
Jadi, jika Anda memiliki banyak antibodi, antibodi tersebut dapat membasmi virus dengan cepat sehingga infeksi apa pun akan berlangsung ringan dan singkat.
“Sekarang, karena antibodi lebih rendah, dosis [virus] yang lebih tinggi akan menyebar dan menyebabkan serangan penyakit yang lebih parah,” kata Prof Riley.
Tingkat antibodi relatif rendah karena sudah lama sejak sebagian besar khalayak menerima vaksinasi atau jatuh sakit akibat Covid, yang juga meningkatkan kekebalan.
Prof Peter Openshaw, dari Imperial College London, mengatakan kepada saya: "Hal yang membuat perbedaan besar sebelumnya adalah vaksinasi secara sangat luas dan cepat - bahkan orang dewasa muda pun berhasil mendapatkan vaksinasi - dan itu membuat perbedaan yang sangat besar."
Tahun ini, semakin sedikit orang yang menerima vaksin.
Prof Openshaw menegaskan dia bukanlah seseorang yang menyerukan akan terjadi "malapetaka".
Kendati demikian, menurutnya, akan ada "banyak orang menderita penyakit yang sangat parah dan akan membuat mereka tumbang selama beberapa hari atau minggu".
“Saya juga mendengar ada orang-orang terkena serangan Covid-19 yang parah, padahal mereka masih muda dan bugar. Ini adalah virus yang sangat licik, terkadang membuat orang sakit parah dan terkadang menyebabkan ‘Covid berkepanjangan',” jelasnya.
Dia berpendapat ada "kemungkinan besar" seseorang rentan sakit jika tidak tertular Covid-19 dalam setahun terakhir.
Keputusan resmi pemerintah di Inggris adalah memvaksinasi orang-orang yang berisiko meninggal akibat Covid atau membutuhkan perawatan di rumah sakit. Hal ini mengurangi tekanan pada Layanan Kesehatan Nasional.
Prof Riley berpendapat: "Tetapi itu tidak berarti orang yang berusia di bawah 65 tahun tidak akan tertular Covid-19, dan tidak akan merasa gejala parah.
"Saya pikir konsekuensi dari tidak memberikan booster kepada orang-orang tersebut adalah lebih banyak orang yang tidak bekerja selama satu atau dua atau tiga minggu selama musim dingin."
Keputusan mengenai siapa yang akan menerima vaksinasi bukan satu-satunya hal yang berubah – virus ini juga berubah.
‘Kekebalan rendah’
Antibodi sangat tepat karena bergantung pada kecocokan antara antibodi dan bagian virus yang ditempelnya. Semakin banyak virus berevolusi untuk mengubah penampilannya, semakin tidak efektif antibodi tersebut.
Prof Openshaw berkata: “Virus-virus yang beredar saat ini secara imunologis cukup jauh dari tipe virus yang digunakan untuk membuat vaksin-vaksin awal, atau yang terakhir kali menginfeksi khalayak.
“Banyak orang memiliki kekebalan yang sangat rendah terhadap virus Omicron dan variannya.”
Jika Anda merasa tidak nyaman dengan Covid – atau gejalanya lebih parah dari sebelumnya – bisa jadi itu adalah kombinasi dari berkurangnya antibodi dan berkembangnya virus.
Namun bukan berarti Anda lebih berpeluang sakit kritis atau memerlukan perawatan di rumah sakit.
Bagian lain dari sistem kekebalan tubuh kita – yang disebut sel T – bekerja ketika infeksi sudah berlangsung dan mereka telah dilatih oleh infeksi dan vaksin di masa lalu.
Sel T tidak mudah dibingungkan oleh virus yang bermutasi karena mereka mengenali sel yang telah terinfeksi Covid dan membunuhnya.
“Mereka [sel T] akan menghentikan Anda dari penyakit parah dan berujung di rumah sakit, namun dalam proses membunuh virus tersebut ada dampak buruk yang membuat Anda merasa sangat tidak nyaman,” kata Prof Riley.
Mengandalkan sel T Anda untuk membasmi Covid menyebabkan Anda mengalami nyeri otot, demam, dan menggigil.
Jadi, bagaimana dengan anggapan bahwa Covid sedang menuju ke arah infeksi yang ringan dan tidak berbahaya?
Ada empat virus corona lain pada manusia, terkait dengan Covid, yang menyebabkan gejala flu biasa. Salah satu alasan mengapa penyakit ini dianggap ringan adalah karena kita terjangkit penyakit ini di masa kanak-kanak dan kemudian sepanjang hidup kita.
Prof Openshaw dengan jelas menyatakan bahwa “kita belum sampai di sana” dalam menghadapi Covid, tetapi “dengan infeksi berulang kita semestinya sedang membangun kekebalan alami”.
Sementara itu, apakah sebagian dari kita harus menghadapi masa yang buruk dalam waktu dekat?
“Saya khawatir demikian,” kata Prof Riley.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Di Indonesia, situasi menunjukkan adanya tren peningkatan kasus sejak pekan ke-41 atau periode 8-14 Oktober 2023.
Data hingga Jumat (15/12/2023) menunjukkan kasus konfirmasi Covid-19 sebanyak 336 atau meningkat dibandingkan hari-hari sebelumnya.
Meski demikian, jumlah tersebut masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan masa pandemi.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI Maxi Rein Rondonuwu memprediksi bahwa puncak kasus Covid-19 pada fase ini akan muncul setelah liburan Natal dan Tahun Baru.
"Kalau melihat dari pengalaman sebelumnya, kita mulai awal tren naik itu awal bulan Desember. Akhir November dihitung dari situ paling lama enam sampai delapan minggu puncaknya. Jadi kalau saya hitung kalau dari Desember ya mungkin puncaknya di awal Januari 2024 nanti," ucap Maxi kepada Detikcom, Minggu (17/12/2023).
Untuk proyeksi jumlah kasus yang muncul nantinya, Maxi mengungkapkan bahwa hal tersebut akan bergantung dengan jumlah testing. Ia menambahkan bahwa jumlah testing Covid-19 saat ini dilakukan dengan lebih masif.
"Testing kita alhamdulillah saat ini kan juga mulai naik. Tadinya kan ratusan atau seribu, sekarang kita sudah dua ribuan hampir tiga ribu. Kalau makin banyak orang testing, maka kasusnya naik," jelasnya.
Maxi mengatakan perlu ada upaya pencegahan penularan yang dilakukan serentak oleh seluruh elemen masyarakat.
“Untuk itu, masyarakat diimbau untuk segera melengkapi dosis vaksin COVID-19, segera datangi fasilitas pelayanan kesehatan terdekat di Puskesmas atau Kantor Kesehatan Pelabuhan, jangan ditunda tunda,” ujar Maxi sebagaimana dipaparkan dalam rilis pers Kementerian Kesehatan. (Sumber: BBC)