"Misalkan mengungkap identitas informasi, pelapor, saksi atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana. Atau misalkan mengungkapkan data intelijen kriminal, dan yang berhubungan dengan pencegahan dan penangan tindak pidana, kita bisa lihat bahwa proses itu sifatnya rahasia, dikecualikan dari informasi yang bersifat publik," katanya.
Fachrizal bilang, setiap orang yang mengakses atau memperoleh dan memberikan informasi yang dikecualikan, dapat dijerat pidana 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 10 juta sesuai dengan Pasal 54 UU KIP.
"Tapi, lagi-lagi kalau kita bicara perbuatan pidana, kita harus lihat mens rea (niat jahat) dan actus reus (unsur tindakan)," katanya.
Sedangkan, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Junaidi Saibih yang juga dihadirkan sebagai ahli juga berkata demikian. Menurutnya yang menjadi materi praperadilan saat sidang yakni proses penetapan tersangka, seperti proses pemanggilan dan sebagainya.
"Adapun berkaitan dokumen rahasia seharusnya tidak boleh dibuka karena itu ada potensi nantinya akan terjadi hal menbahayakan dalam proses penyidikan. Misalnya informasi orang itu berkaitan pemeriksaan dan sebagainya, lalu dikhawatirkan akan jadi penghambat proses penyidikan. Misal orangnya melarikan diri," paparnya.
Sebagaimana diketahui, usai jadi tersangka di Polda Metro Jaya dan diberhentikan sementa oleh Presiden Joko Widoo atau Jokowi, Firli melakukan perlawanan atas statusnya.
Dia tidak terima dijadikan tersangka dugaan pemerasaan ke mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, sehingga menggugat Polda Metro Jaya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan itu didaftarkan Firli pada Jumat 24 November 2023, dengan nomor perkara 129/Pid.Pra/2023/PN.JKT.SEL.
Dalam gugatan itu tertulis, Firli sebagai pemohon, dan termohon Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Karyoto.
Baca Juga: Berkas Perkara Tersangka Firli Bahuri Dilimpahkan ke Kejati DKI, Tebalnya Bikin Terkejut!