Suara.com - Belakangan ini banyak yang menyamakan gaya kampanye Prabowo Subianto mirip dengan Bongbong Marcos.
Hal itu bermula ketika Juru Bicara Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar atau Timnas AMIN, Surya Tjandra pun mengklaim bahwa startegi Prabowo pada Pilpres 2024 ini mirip dengan Bongbong Marcos.
"Model-model kampanye yang mirip-mirip dengan kasus di Filipina. Bongbong Marcos yang anaknya Ferdinand Marcos, otoritarian semacam orde baru dulu, bisa come back karena memanipulasi," kata Surya.
Siapa sangka populernya nama Bongbong, malah membuat publik penasaran dengan latar belakangnya. Diketahui Bongbong Marcos adalah seorang anak dari eks diktator Filipina yang juga pernah menduduki kursi kekuasaan negara tersebut.
Baca Juga: Menyemut di JIEXPO, Detik-detik Kader dan Simpatisan Tunggu Prabowo Pimpin Rakornas Gerindra
Tercatat ada dua jenis dosa yang dilakukan Keluarga Marcos ketika menjadi penguasa negara. Mulai dari korupsi hingga pelanggaran HAM, berikut ulasannya.
Keluarga Marcos di Filipina Terkenal Korupsi
Kala itu mereka memanfaatkan posisinya yang dipilih oleh rakyat untuk melancarkan dan memenuhi kepentingannya sendiri. Salah satu praktif korup yang sangat melekat adalah gaya hidup mewah.
Bahkan, ketika mereka sudah digulingkan Keluarga Marcos masih menjalani gaya hidup ini. Diketahui Keluarga Marcos memiliki setidaknya 50 aset berbentuk properti yang tersebat di Makati, Paranaque, San Juan, Cavite, Leyte, dan Ilocos Norte.
Selama berkuasa juga, Marcos boros dalam merenovasi Kantor Kepresidenannya. Ia menghabiskan 10 juta USD untuk dua kali memperbaiki kantornya itu.
Baca Juga: Biaya Program Susu Gratis Prabowo Rp1 Triliun per Hari, Ini Sumber Dananya
Kala Marcos menikah dengan Imelda. Ia menerima kado berupa meas 24 karat karena kala itu usianya menginjak 24 tahun.
Marcos juga pernah membangun jembatan sebagai tanda kasihnya untuk Imelda dan memberi nama jembatan itu dengan 'San Juanico'.
Gaya hidup yang kelewat mewah itu pun, membuat Marcos didakwa melakukan korupsi sebesar 5-10 miliar USD dalam dua dekade memerintah Filipina. Semenatara Imelda divonis atas 9 kasus korupsi karena menyalurkan uang negara secara ilegal ke rekining dan yayasan pada 1970-an. Jumlahnya mencapai sekitar lebih dari 100 juta USD.
Pelanggaran HAM
Marcos Sr pernah mengerahkan jajaran pasukannya untik memberantas para penentang. Unit-unit militernya itu dipimpin oleh kroni-kroninya. Dokumentasi dari berbagai pemantau hak asasi manusia telah merekam jejak kekejaman mereka. Kediktatoran Marcos Sr. diwarnai dengan 3.257 pembunuhan di luar proses hukum, 35.000 penyiksaan, 77 penghilangan, dan 70.000 penahanan.
Kroninya menyasar lawan politik, aktivis mahasiswa, jurnalis, tokoh agama, hingga petani yang berjuang melawan.
Selain itu, para korban juga digerebek dan ditangkap di rumah mereka sendiri. Perintah penangkapan, penggeledahan, hingga penyitaan itu pun tidak ada proses birokrasi yang jelas.
Tanpa penyelidikan orang-orang militer lantas leluasa memasukan nama siapapun dalam daftar secara cuma-cuma.
Mereka kemudian ditahan secara ilegal tanpa dakwaan atau informasi yang jelas tentang status kasus mereka.
Satuan Tugas Tahanan Filipina (TFDP) telah mencatat pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Selama rezim Marcos Sr., terdapat 2.668 insiden penangkapan dan 398 penghilangan. Adapun 70.000 orang yang dipenjara dan 34.000 lainnya yang turut disiksa.