Suara.com - Kasus pembunuhan di Jagakarsa, Jakarta Selatan, disebut pengamat menjadi bukti bahwa penanganan perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan kepolisian masih buruk lantaran kurang cepat mengidentifikasi potensi terjadinya kejahatan yang berujung pada pembunuhan empat anak.
Komisioner Komnas Perempuan, Retty Ratnawati, berkata jika berkaca pada peristiwa itu maka idealnya polisi harus memisahkan pelaku dengan keluarga atau siapapun yang berpotensi menjadi korban.
Hanya saja, menurut Ketua YLBHI Muhamad Isnur, polisi seringkali tidak paham karena minim kemampuan dan kemauan.
Sebelumnya, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Djuhandani, mengatakan penanganan kasus KDRT menurun dalam tiga tahun terakhir.
Dia pun memastikan Polri serius menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan terus menyempurnakan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA).
Apa yang terjadi pada kasus di Jagakarsa?
Publik kembali digemparkan oleh kasus pembunuhan empat anak di Jagakarsa, Jakarta Selatan, pada Rabu (06/12) lalu.
Empat anak itu berusia 6 tahun, 4 tahun, 3 tahun, dan 1 tahun.
Kepala Satuan (Kasat) Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan, Ajun Komisaris Besar Bintoro, mengatakan jasad keempatnya ditemukan berjejer di kasur salah satu kamar pada pukul 14.50 WIB.
Mereka diduga dihabisi oleh ayahnya, yakni Panca yang dilaporkan ditemukan di kamar mandi rumah kontrakan tersebut dengan kondisi kedua pergelangan tangan penuh luka dan mengeluarkan darah
Baca Juga: Empat Anak Korban Pembunuhan Di Jagakarsa Dimakamkan Di Sawangan Depok Sore Ini
Di lokasi kejadian perkara, polisi menemukan sebilah pisau di dekat tubuh pelaku.
"Masih dalam penyelidikan. Yang jelas orang tua ini [ayah] yang diduga sebagai pelaku hendak bunuh diri juga, tapi masih selamat," ujar Bintoro.
Berdasarkan keterangan polisi, pelaku sudah dilaporkan atas kasus KDRT terhadap istrinya pada Sabtu (02/12).
Itu artinya laporan tersebut dilayangkan sebelum keempat bocah tersebut ditemukan meninggal.
Akan tetapi polisi belum sempat menangani kasus KDRT itu dengan alasan keempat anaknya tak bisa ditinggal sendiri.
Pasalnya istri pelaku yakni D sedang dirawat di rumah sakit karena diduga sudha terlebih dulu dianiaya pelaku.
"Saudara P meminta adanya penundaan laporan pemeriksaan karena saat itu ibunya korban ada di rumah sakit dan P beralasan sedang menunggu empat anaknya," ucap Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Ade Ary Syam Indradi kepada wartawan.
Idealnya polisi memisahkan pelaku dengan korban KDRT
Komisioner Komnas Perempuan, Retty Ratnawati, mengaku menyesalkan tindakan polisi yang disebutnya kurang tegas untuk memisahkan pelaku dengan anak-anak korban KDRT.
Tujuannya, kata dia, untuk menghindari tindakan negatif yang kemungkinan bakal dilakukan pelaku akibat dari kondisi psikologisnya yang tidak baik.
Pasalnya kasus KDRT cenderung berulang dan bisa menimpa siapapun yang ada dalam lingkungan keluarga.
"Idealnya kalau kasus KDRT sudah sampai di polisi, mereka harus dipisahkan, harus ada rumah aman atau apapun untuk pemisahan. Karena secara logika bahaya," ucap Retty Ratnawati kepada BBC News Indonesia.
Yang dia sesalkan juga, kesadaran masyarakat untuk melindungi korban KDRT masih kurang.
Padahal jika terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga masyarakat bisa bertindak dengan melaporkan ke polisi atau lembaga pelayanan seperti dinas sosial untuk melindungi anak-anak yang berpotensi menjadi korban KDRT.
"Warga bisa berbuat sesuatu dengan membawa ke lembaga pelayanan atau menenangkan pelaku... dalam konteks ini idealnya masyarakat juga aware."
Catatan Tahunan Komnas Perempuan kasus kekerasan yang terjadi di ranah personal menjadi yang paling banyak dilaporkan sepanjang tahun 2023 yakni sebanyak 2.098 kasus.
Mengapa polisi dituduh lamban tangani kasus KDRT?
Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Citra Referandum, menyebut penanganan perkara KDRT oleh kepolisian masih buruk lantaran kurang cepat mengidentifikasi potensi terjadinya kejahatan yang berujung pada pembunuhan.
Dalam beberapa kasus yang ditangani lembaganya, polisi sering "mengabaikan" pelaporan KDRT seperti menunda-nunda proses penyelidikan dan penyidikan.
Bahkan ada kalanya, kata Citra, polisi menyudutkan korban KDRT.
"Pernah ditemukan dalam proses penyelidikan polisi membebankan pembuktian ke korban," ucapnya kepada BBC News Indonesia.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, mengatakan ada tiga persoalan di kepolisian yang membuat penanganan kasus KDRT tak serius.
Pertama, dalam konteks penindakan sering kali polisi tidak paham bagaimana menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Meskipun UU KDRT sudah ada sejak tahun 2004, tapi nyatanya unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) -yang bertugas memberikan pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kejahatan- hanya sampai Polres.
Sementara peristiwa KDRT banyak terjadi di wilayah-wilayah terkecil.
"Unit PPA tidak sampai ke polsek, di polsek yang menangani kasus KDRT cowok dan mereka tidak paham."
Kedua, polisi sering kali tidak berpihak pada korban dan tunduk pada tekanan keluarga pelaku apalagi jika berasal dari kalangan berada.
Ketiga, polisi juga kerap menjadi mediator antara korban dan pelaku.
"Di lapangan negosiasi-negosiasi terjadi. Jadi si korban karena tidak didampingi pendamping hukum, tidak paham. Akhirnya maju mundur kasusnya. Polisi kadang memediasi yang seharusnya tidak dimediasi."
"Jadi di samping polisi bermasalah tidak punya kemampuan dan tidak ada kemauan... banyak yang polisi kayak malas menangani kasus KDRT karena dianggap tidak ada uangnya."
Apa komitmen Polri?
Sejalan dengan YLBHI, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Pungki Indarti, menyebut polisi kurang peka terhadap laporan kasus-kasus KDRT.
Termasuk, sambungnya, kurang sensitif gender di kalangan penyidik maupun anggota Polri yang bertugas menerima pengaduan.
Sehingga terkadang bergerak lamban dan akibatnya fatal, sebut Pungki.
Pemantauannya setidaknya ada empat kasus KDRT yang menjadi sorotan akibat dari kurang sensitifnya polisi.
Seperti yang terjadi di Depok pada Juni lalu --ketika polisi menetapkan korban KDRT sebagai tersangka setelah dilaporkan oleh suaminya.
Meski akhirnya polisi menghentikan laporan sang suami dan menyeretnya menjadi tersangka sebulan kemudian.
Lalu kasus lainnya adalah kasus penganiayaan terhadap istri yang sedang hamil oleh suaminya di Tangerang Selatan pada Juli lalu.
"Yang saya sesalkan adalah suaminya tidak langsung ditahan."
Berikutnya kasus seorang istri di Bekasi, Jawa Barat, yang meninggal akibat dianiaya sang suami pada si istri sudah melaporkan KDRT suaminya ke kepolisian.
Peristiwa itu terjadi pada September lalu, ibu muda berinisial MSD berusia 24 tahun diduga dibunuh suaminya Nando menggunakan pisau dapur.
Terakhir adalah kasus di Jagakarsa, Jakarta Selatan.
"Hal ini harus dicegah dengan menanamkan pada pimpinan untuk alert terhadap laporan kasus KDRT, sehingga dapat segera memerintahkan penahanan kepada pelakunya," ujar Pungki.
Pungki mengatakan Polri sudah harus menggiatkan pendidikan sensitif gender kepada petugas Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) maupun para penyidik.
Selain juga penting memiliki buku panduan dan cara bertindak bagi aparat kepolisian kalau menerima laporan KDRT.
"Kami khawatir mindset berpikir yang keliru, antara lain menganggap masalah rumah tangga adalah masalah internal suami istri dan adanya budaya tabu mengumbar masalah keluarga, itulah yang menghambat anggota untuk berpikir dan bertindak cepat."
Data e-MP Robinopsnal Bareskrim Polri menyebutkan kepolisian menindak 5.271 kasus KDRT sejak awal tahun 2022.
Kekerasan meliputi fisik, seksual, penelantaran, hingga bentuk kekerasan lain.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Djuhandani, mengatakan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani kepolisian dalam tiga tahun terakhir terjadi penurunan.
"Namun tetap perlu diwaspadai bahwa angka yang dilaporkan tersebut belum tentu menunjukkan angka yang sebenarnya terjadi di masyarakat," katanya.
Ia memastikan, Polri serius menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Saat ini, pelayanan terbaik dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) pun terus disempurnakan.