Suara.com - Sejumlah mahasiswa penerima beasiswa otonomi khusus Papua di luar negeri telah diminta untuk angkat kaki dari kampus mereka karena menunggak biaya kuliah. Pemerintah Provinsi Papua mengatakan anggaran untuk melunasi biaya pendidikan para mahasiswa ini "belum tersedia".
Para mahasiswa yang terdampak pun mulai mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap implementasi otonomi khusus Papua di bidang pendidikan, yang menjadi landasan dibuatnya program beasiswa ini.
"Kalau sampai pendidikan anak-anak kami bermasalah lalu mereka dideportasi pulang, ini berarti kan kegagalan pemerintah. Ini bisa membuat kami, orang Papua, tidak percaya dengan implementasi Otonomi Khusus di Papua," kata John Reba, salah satu perwakilan orang tua mahasiswa penerima beasiswa kepada BBC News Indonesia.
Mimpi membangun Papua
Calvin Valdira Hamadi, 22, begitu senang ketika dia dinyatakan lolos seleksi beasiswa unggul Papua untuk kuliah sarjana di Amerika Serikat pada 2020 lalu.
Baca Juga: TPNPB-OPM Serang Konvoi Kendaraan TNI Klaim Tewaskan 1 Prajurit dan 1 Alami Luka Tembak
"Ini mimpi kami, mimpi orang-orang muda yang mencintai Papua dan kembali lagi untuk membangun Papua," kata Calvin kepada BBC News Indonesia.
Tetapi baru setengah jalan kuliahnya berjalan, impiannya seakan sirna.
Calvin diminta untuk pulang ke tanah kelahirannya di Papua tanpa gelar sarjana.
Itu karena pihak kampus sudah tidak bisa lagi mentoleransi tunggakan pembayaran biaya kuliahnya dari Pemprov Papua.
"'Tidak bisa, sudah tidak bisa. Waktu yang kami berikan sudah lama'," kata Calvin, mengulang pernyataan perwakilan kampusnya ketika dia memohon diberi waktu lebih untuk menyelesaikan tunggakan pembayaran uang kuliah pada awal November 2023 lalu.
Baca Juga: Jokowi Dicurigai Buntuti Ganjar ke NTT hingga Papua, Istana Langsung Buka Suara
Di sisi lain, Calvin mengaku sudah "amat sangat lelah" menagih komitmen pemerintah untuk membiayai kuliahnya di jurusan Matematika Terapan, Universitas Utah, Amerika Serikat.
Calvin adalah satu dari 3.178 mahasiswa Papua penerima beasiswa Siswa Unggul Papua yang dibiayai untuk kuliah di dalam maupun luar negeri.
Mereka telah berulang kali mempertanyakan hal ini kepada pemerintah.
Bahkan para orang tua dari mahasiswa penerima beasiswa ini juga pernah berunjuk rasa hingga menginap di kantor Gubernur Papua.
"Tapi pemerintah seperti tidak mendengar," kata Calvin.
Berulang kali pula, protes itu direspons dengan audiensi dan rapat bersama pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Tetapi sampai saat ini, hasilnya nihil.
Mundur ke beberapa bulan sebelumnya, Calvin pertama kali mengetahui bahwa Pemprov Papua menunggak pembayaran uang kuliahnya sejak 2022.
Waktu itu, Calvin mempertanyakan perihal tunggakan itu ke pemprov. Jawaban yang dia terima adalah, kewajiban pembayaran kini beralih ke pemerintah kabupaten dan kota.
Calvin dibuat bingung. Sebab beasiswa ini adalah program pemprov. Namun beberapa hari kemudian Pemprov Papua akhirnya menyicil 60% tunggakan uang kuliahnya.
Itu bukan akhir masalah bagi Calvin dan teman-temannya. Pembayaran uang kuliahnya pada Januari hingga Mei 2023 juga menunggak. Akun belajarnya kemudian diblokir.
Calvin mencoba bernegosiasi dengan kampus. Hasilnya, dia dan teman-temannya mendapat toleransi untuk melanjutkan kuliah pada semester berikutnya.
Tiga bulan berlalu, tidak ada pembayaran dari pemerintah. Tunggakan uang kuliahnya justru terus bertambah.
Pada 1 November lalu, pihak kampus sudah tidak bisa lagi menoleransi situasi ini.
Calvin menerima surat yang menyatakan bahwa pembayaran uang kuliahnya sebesar US$8.316,49 (Rp129 juta) telah jatuh tempo. Itu pun hanyalah tunggakan sejak semester Juli. Menurut Calvin, total tunggakan keseluruhan uang kuliahnya mencapai sekitar US$50.000 (Rp776,85 juta).
Pihak universitas masih memberi tenggat waktu 18 hari untuk pelunasan. Jika tidak, Calvin tidak bisa mendaftar untuk ikut semester selanjutnya.
"Aku rasanya emosi, tidak bisa berpikir, tidak bisa fokus, padahal aku sedang ada ujian saat itu," ujar Calvin.
Pemprov Papua 'tidak ada uang'
Dia bersama lima orang teman lainnya yang menerima surat serupa kemudian berbagi tugas untuk menghubungi pemerintah, termasuk Badan Pembangunan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Provinsi Papua.
"Kami bilang, 'Halo bu, pembayaran kami diberikan deadline 18 hari. Apakah kira-kira ada update atau informasi?' Mereka cuma bilang, 'Tidak ada uang'. Begitu saja. Sekalimat doang, 'Tidak ada uang'. Sudah, tidak ada selamat pagi atau apa," papar Calvin.
Tenggat waktu 18 hari kemudian terlewati tanpa ada solusi dari pemerintah.
Calvin dan teman-temannya masih berupaya meminta keringanan dari universitas. Pada titik ini, universitas menyatakan sudah terlalu lama menoleransi mereka.
"Mereka sudah menganggap ini serius. Mereka tidak akan bisa bantu apa-apa. Mereka sudah tidak kasih harapan apa-apa lagi untuk kami bisa lanjut," tuturnya.
"Aku sedih banget. Selama dua minggu aku tidak masuk kelas, down banget."
Pada Selasa (05/12), Calvin kembali menerima email yang menyarankannya untuk kembali ke Indonesia, mengumpulkan uang, lalu melunasi tunggakan biaya kuliahnya.
"Aku bingung. Tertekan, stres, segala macam," kata Calvin sesaat setelah menerima email tersebut.
"Kalau sampai pertengahan Januari tidak ada pembayaran, aku akan pulang. Yang namanya visa pelajar itu kan tidak bisa menetap kalau tidak ada kuliahnya, ya sudah jadi pasti akan pulang," sambungnya.
Bekerja paruh waktu untuk menutupi biaya hidup
Bergeser ke Negara Bagian Michigan, AS, mahasiswa asal Papua lainnya, Kenan Reba, harus bekerja hingga tengah malam demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kenan berkuliah di jurusan Teknik Sipil, Universitas Western Michigan. Pemerintah juga menunggak pembayaran uang kuliah Kenan. Tetapi karena kampusnya memiliki kerja sama dengan Pemprov Papua, Kenan mendapat toleransi lebih untuk tetap melanjutkan kuliah.
Persoalannya, pengiriman uang saku untuk biaya hidup dari Pemprov Papua sebesar US$1.500 per bulan juga menunggak. Kenan pun mau tidak mau bekerja paruh waktu untuk menutupi biaya hidup sehari-harinya di AS.
"Ada yang menyampaikan juga bahwa kami seharusnya fokus saja belajar, tidak perlu bekerja, dari pemerintah juga menyampaikan seperti itu untuk kami fokus saja belajar."
"Cuma kalau kami hanya belajar terus kami tidak ambil part time, ini akan berat karena pemerintah selalu terlambat mengirimkan biaya hidup," jelasnya.
Dia bekerja di bagian kantin di lingkungan kampusnya selama 20 jam per minggu.
"Kadang cuci piring, kadang jaga salad, atau bagian jaga pastry," kata dia dalam wawancara dengan BBC News Indonesia.
"Rata-rata saya ambil kerja malam. Jadi kadang bisa sampai jam 12 malam. Besok saya ada kuliah siang, tapi paginya juga saya ada kerja."
Kenan harus pintar-pintar membagi waktu antara kuliah, mengerjakan tugas dan bekerja. Dia mengaku kesulitan belajar di luar kelas. Bahkan dia hanya memiliki sedikit waktu untuk tidur.
"Sejak di AS, jam tidur saya terganggu. Kadang dua jam, kadang tiga jam. Syukur-syukur bisa lima jam, itu sudah syukur sekali," kata Kenan.
"Kalau saya tidak kerja mungkin waktu-waktu tersebut bisa saya gunakan untuk mengerjakan tugas dan lain-lain. Jadi bisa ada banyak waktu juga untuk saya istirahat."
Tetapi yang membuat Kenan sangat sedih adalah bagaimana teman-temannya sesama penerima beasiswa Papua sampai terancam putus kuliah.
"Banyak yang tidak bisa kuliah dengan tenang, pikirannya lari ke mana-mana karena ditagih [pembayaran] dari pemilik tempat tinggal, terus ditagih dari universitas. Kalau tidak bayar tidak bisa kuliah di semester depan, otomatis harus pulang," jelas Kenan.
Padahal baginya, para mahasiswa ini memiliki visi untuk membangun Papua dengan ilmu yang mereka dapat.
"Karena kami dibayar, dikuliahkan dengan uang masyarakat, jadi kami benar-benar punya hati untuk pulang membangun Papua," katanya.
Program beasiswa ini dibentuk demi memperluas akses orang asli Papua terhadap perguruan tinggi. Dengan demikian, kualitas sumber daya manusia (SDM) di Papua juga meningkat.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, hanya 8,14% penduduk berusia 15 tahun ke atas di Papua yang menamatkan pendidikan tinggi.
Pengelolaan beasiswa dituding carut marut
Terbatasnya akses pendidikan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua menjadi yang terendah di Indonesia.
Ironisnya, ketika ada beasiswa yang bertujuan memberdayakan orang asli Papua, pengelolaannya justru carut marut.
Program beasiswa ini sendiri menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Papua, karena dianggap tidak cukup inklusif.
Tata kelolanya pun dianggap "buruk" oleh sejumlah mahasiswa dan para pakar.
Itu terlihat dari adanya data penerima beasiswa yang tidak sesuai domisili, ketidaksesuaian nama kampus, mahasiswa yang kuliah di luar negeri tapi tercatat di dalam negeri-juga sebaliknya, sampai mahasiswa sudah wisuda tapi masih tercatat.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun telah memeriksa pejabat BPSDM Papua terkait tunggakan dana beasiswa ini pada 2022. Namun ketika dihubungi terkait perkembangan terbaru kasus ini, KPK tidak merespons.
Ada pula mahasiswa yang mengeluhkan bahwa petugas BPSDM, sebagai sponsor, bahkan tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan kampus-kampus mereka.
Email yang dikirimkan oleh universitas terkait tunggakan, tak dibalas.
Pada akhirnya, universitas akan mengirim email kepada pihak ketiga atau mahasiswa yang bersangkutan, dengan menggarisbawahi bahwa upaya mereka menghubungi pemerintah sebagai sponsor "tidak berhasil".
Mengapa pembiayaan beasiswa mandek?
Kepala BPSDM Papua, Aryoko Rumaropen, mengatakan nasib pembiayaan beasiswa, yang dulunya ditanggung seluruhnya oleh pemerintah provinsi, kini telah dibagi-bagi menjadi tanggung jawab sembilan kabupaten dan kota Papua.
Pembagian itu didasarkan pada asal domisili masing-masing mahasiswa.
Menurutnya, hal itu telah disepakati pada rapat yang mereka gelar pada 26 Juli 2023. Perubahan itu terjadi sebagai imbas dari revisi Undang-Undang Otonomi Khusus disahkan pada 2021.
UU itu menempatkan Provinsi Papua setara dengan kabupaten dan kota lainnya dalam hal penerimaan dana.
"Sampai rapat terakhir kami di DPRP [Dewan Perwakilan Rakyat Papua] kemarin [Jumat], itu tidak satupun dari pemerintah ini untuk bantuan penanganan beasiswa di tahun 2023," kata Aryoko dalam wawancara dengan wartawan Alfonso Dimara yang melaporkan untuk BBC News Indonesia di Jayapura.
Selain itu, lantaran ada pemekaran wilayah, porsi dana otsus yang diterima provinsi pun menjadi lebih kecil.
Pemprov Papua akhirnya tidak menganggarkan pendanaan beasiswa Siswa Unggul Papua ini di dalam APBD mereka pada 2022 dan 2023. Pada tahun lalu, pembiayaan itu akhirnya disiasati dengan menggunakan dana cadangan.
Menurut Aryoko, saat ini butuh anggaran sebesar Rp299 miliar untuk membiayai 1.718 mahasiswa yang telah dibagi-bagi menjadi tanggungan kabupaten/kota.
Namun ketersediaan anggaran untuk menyelesaikan pembiayaan pada 2023 tidak jelas. Begitu pula untuk semester berikutnya pada 2024.
Pemerintah pun tidak bisa menerbitkan surat sponsor untuk jaminan pembiayaan studi para mahasiswa ini. Padahal, mahasiswa membutuhkan itu sebagai jaminan kepada universitas.
"Jaminan surat sponsor yang kami terbitkan hanya sampai Desember 2023, sedangkan ada yang membutuhkan itu di Januari 2024. Tetapi siapa yang menjamin pembiayaan tahun 2024? Kalau di kesepakatan itu sendiri, pemkab tidak mengatakan bahwa mereka ikut membantu," kata Aryoko.
"Kami meminta ketegasan pemerintah pusat atas kesepakatan ini," tuturnya.
BBC News Indonesia telah mencoba menghubungi sejumlah pejabat Kementerian Dalam Negeri terkait hal ini.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Akmal Malik enggan menjawab dan mengalihkan kepada Kepala Subdirektorat Papua Kemendagri, Budi Arwan.
Sementara Budi, mengatakan hal ini diurus oleh Direktorat Jenderal Keuangan Daerah.
Pelaksana harian Direktur Jenderal Keuangan Daerah, Maurits Panjaitan, tidak merespons hingga artikel ini diterbitkan.
'Pemerintah tidak serius dengan pendidikan anak-anak Papua'
Sementara itu di Indonesia, orang tua dari para mahasiswa ini masih terus memperjuangkan kejelasan nasib pendidikan anak-anak mereka yang terkatung-katung.
Ayah Kenan, John Reba, mengatakan masalah berlarut dan tanpa solusi konkret ini menggambarkan bahwa "pemerintah tidak serius dengan pendidikan anak-anak Papua".
"Anak-anak kami ini direkrut karena adanya Undang-Undang Otsus yang diberlakukan di Papua, ada Otsus yang diimplementasikan di Papua. Kalau sampai ini gagal, alasan gagal karena pemerintah tidak punya uang itu kan sesuatu yang memalukan," kata John.
"Kami di Papua ini terlalu kaya, begitu. Memberikan sumber pendapatan dari negara luar biasa tapi kok pendidikan anak-anak kami seperti ini, terkatung-katung."
Pakar pendidikan dan otonomi khusus dari Universitas Papua, Agus Sumule, mengatakan pemerintah pusat semestinya bertanggung jawab menyelesaikan simpul masalah ini.
Menurutnya, ini terjadi karena pengaturan keuangan untuk program-program seperti ini tidak diantisipasi dalam pembahasan revisi UU Otonomi Khusus. Persoalannya juga kian rumit karena ada pemekaran wilayah.
Sementara itu, pemerintah pusat pun belum mengeluarkan aturan teknis yang mengatur persoalan ini.
"Mereka harus dibantu, apalagi mereka kan tidak tahu menahu kalau akan pemekaran ini," kata Agus.
Pemerintah pusat semestinya bisa mengambil alih tanggung jawab itu dengan memotong dana otonomi khusus.
Imbas 'resentralisasi' kewenangan pusat atas Papua
Sementara itu, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi (BRIN), Cahyo Pamungkas, mengatakan apa yang terjadi dalam hal ini adalah imbas dari resentralisasi kewenangan dan keuangan oleh pemerintah pusat terhadap Papua.
Revisi UU Otsus tersebut, kata Cahyo, membuat porsi dana alokasi umum (DAU) yang sebelumnya menjadi kewenangan pemerintah daerah, menjadi berkurang. DAU inilah yang dulunya menjadi sumber pembiayaan program beasiswa ini.
Belum lagi porsi DAU itu harus dibagi-bagi antara enam provinsi dan sembulan kabupaten/kota di Papua.
"Alokasi keuangan ini kan sulit bagi Pemprov Papua yang punya program 1.000 doktor [nama lain program beasiswa Otsus]," kata Cahyo.
Pemda bisa saja mengusulkan anggaran untuk program seperti ini agar diatur dalam DAU, namun proses birokrasinya akan semakin panjang dan berbelit-belit.
Sedangan dana alokasi khusus (DAK) yang jumlahnya menjadi lebih besar, diatur oleh Jakarta.
"Akhirnya banyak pembangunan di Papua akan diputuskan oleh Jakarta dan dari perspektif Jakarta," tuturnya.
Dan umumnya, sambung Cahyo, program-program itu lebih mengutamakan infrastruktur dengan nilai ekonomi yang besar, tetapi cenderung mengesampingkan pembangunan sumber daya manusia di Papua.
"Saya tidak menyangkal infrastruktur di Papua semakin baik. Banyak SD tidak ada gurunya, banyak puskesmas tidak ada obat-obatan dan jumlah perawat terbatas. Yang diperlukan pembangunan SDM," tutur Cahyo. (Sumber: BBC Indonesia)