Suara.com - Kasus Covid-19 di Indonesia kembali meningkat sejak akhir Oktober 2023 lalu akibat kemunculan subvarian baru dari Omicron, seperti EG.2 dan EG.5. Bagaimana gejalanya dan apa saja yang harus diwaspadai?
Kementerian Kesehatan mengimbau agar warga tetap waspada setelah mereka mencatat peningkatan akumulasi kasus Covid-19 tiap pekan dalam beberapa waktu belakangan.
"Ada peningkatan kasus, dari yang biasanya 10-20 kasus per minggu, pekan kemarin ada peningkatan sampai 267 kasus per minggu," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, kepada BBC News Indonesia.
Tak hanya di Indonesia, situasi serupa juga terjadi di sejumlah negara Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina.
Peningkatan kasus Covid-19 di kawasan ini menjadi sorotan, terutama karena terjadi menjelang musim liburan Natal dan Tahun Baru.
Kementerian Kesehatan pun mengimbau agar warga berhati-hati ketika akan bepergian di dalam negeri, mau pun ke negara-negara yang sedang mengalami peningkatan kasus Covid-19.
Apa gejala Covid di tengah kemunculan varian EG.2 dan EG.5?
Seorang warga Jakarta, Vela Andapita, sedang mengidap Covid-19 usai pulang dari Singapura pada pekan lalu.
Vela menuturkan bahwa sepulangnya dari Singapura pada 28 November lalu, ia sebenarnya tidak merasakan gejala apa pun. Namun, Vela memang sudah mendengar kabar mengenai peningkatan kasus Covid-19 di Singapura.
"Saat itu sudah mulai berpikir, aku kemarin baru dari sana, jadi sudah waspada kalau ada gejala, akau akan standby untuk cek," ucap Vela kepada BBC News Indonesia, Rabu (06/12).
Beberapa hari berlalu, Vela menjalani hari seperti biasa. Hingga akhirnya, ia mulai pilek setelah sempat kehujanan ketika berkunjung ke satu pasar.
"Saya pikir pilek biasa karena gejalanya mirip, hanya meriang dan bersin-bersin. Itu baru muncul Minggu malam [03/12]," tutur Vela.
Merasa gejala yang ia alami seperti flu pada umumnya, Vela pun pergi ke kantor keesokan harinya, Senin (04/12). Namun menjelang malam, bersin dan batuk yang ia alami kian intens.
"Malamnya menggigil luar biasa. Demam sampai 38,8 derajat Celsius dan paginya badan rasanya babak belur, remuk banget," ucapnya.
"Kalau linu persendian kan memang seperti meriang biasa. Ini enggak. Badan seperti habis digebuk orang."
Baca juga:
Kasus Covid varian baru meningkat di sejumlah negara Asia Tenggara, bagaimana situasi di Indonesia?
Alasan WHO nyatakan Covid-19 bukan lagi 'darurat kesehatan global'
Covid varian Arcturus dipastikan masuk ke Indonesia, kata Kemenkes
Vela lantas tersadar, ia pernah mengalami gejala serupa ketika terinfeksi Covid-19 pada Februari 2022 lalu. Ia pun memutuskan untuk membeli alat tes antigen melalui aplikasi belanja daring.
"Akhirnya, tes sendiri, dan betul, dua garis sudah tidak samar-samar lagi [positif Covid], sudah sangat jelas. Akhirnya, kemarin [Selasa, 5 Desember 2023] langsung isolasi mandiri," katanya.
Selama isolasi mandiri itu, Vela terus menggigil. Ia juga merasakan sakit di sekujur tubuhnya.
"Kemarin parahnya, kena air saja menggigil banget. Duduk saja sakit banget, jadi kemarin cuma bisa baring-baring seharian," ujar Vela.
Setelah beristirahat sepanjang Selasa (05/12), Vela sudah merasa lebih baik sehari kemudian. Badannya sudah tak terlalu menggigil dan ia sudah bisa mandi seperti biasa.
"Sudah tidak terlalu menggigil, sudah bisa mandi, tapi penciuman masih agak samar-samar. Mungkin memang ada prosesnya. Semuanya datang dan pergi, tapi hari ini sudah bisa beraktivitas," ucap Vela.
Vela kemudian bercerita bahwa gejala yang ia alami saat ini lebih parah ketimbang saat terinfeksi Covid untuk pertama kalinya pada Februari 2022 lalu.
"Sekarang napas agak berat. Tadi pagi bangun suara habis. Soal tingkat keparahan yang saya rasakan, memakai skala 1-10, yang 2022 mungkin ada di angka 6. Sekarang di angka 7-7,5," katanya.
Saat terpapar corona pada 2022 lalu, Vela sebenarnya baru saja mendapatkan vaksin booster perdana.
"Waktu itu sudah booster. Kenanya seminggu setelah booster," ujar Vela.
Kini, Vela pun meminta orang tua dan teman-teman yang sempat berinteraksi dengannya untuk menjaga imunitas dengan meminum vitamin dan segera melakukan tes jika merasakan gejala.
Juru bicara Kemenkes, Syahril Mansyur, memaparkan bahwa secara umum, gejala Covid subvarian EG.2 dan EG.5 lebih ringan ketimbang varian-varian sebelum Omicron.
"Tidak ada gejala khusus. Hanya batuk, pilek, nyeri tenggorokan, dan demam. Lebih ringan," tutur Syahril.
Menurut Syahril, gejala ringan biasanya tak memerlukan obat dan perawatan khusus, seperti bantuan oksigen atau infus.
Covid dengan gejala ringan seperti ini biasanya dapat sembuh dengan sendirinya setelah mengasup vitamin dan antivirus.
Meski demikian, Syahril tak menutup kemungkinan subvarian EG.2 dan EG.5 dapat menimbulkan gejala berat pada orang-orang yang memiliki komorbid.
Ketua Kolegium Epidemiologi Indonesia, Masdalina Pane, juga mengatakan bahwa subvarian tersebut dapat menimbulkan gejala berat pada kelompok orang yang memiliki risiko tinggi.
"Siapa mereka? Mereka yang usia lanjut, mereka yang memiliki komorbid. Kalau dia punya asma, diabetes, hipertensi, biasanya walau terinfeksi ringan, menimbulkan gejala yang berat," tutur Masdalina.
Namun menurut Syahril, hingga saat ini tak ada laporan pengidap Covid subvarian EG.2 dan EG.5 yang sampai menderita gejala parah.
"Ini lebih ringan, dan juga tidak secepat Omicron. Kalau Omicron kan per hari langsung melonjak. Ini sedikit."
Seberapa besar peningkatan kasus Covid akibat EG.2 dan EG.5?
Jika dibandingkan dengan ketika gelombang Omicron pertama kali menerjang Indonesia, jumlah kasus saat ini memang terpaut jauh lebih kecil.
Merujuk pada data Kemenkes, saat ini total kasus Covid aktif di Indonesia pekan ini mencapai 149.
Dari keseluruhan angka tersebut, hanya 20% di antaranya yang merupakan subvarian EG.2 dan EG.5, sisanya didominasi varian XBB 2.
Namun, jika melihat tren jumlah kasus Covid sepanjang tahun ini, infeksi dari akhir Oktober hingga November memang meningkat.
Berdasarkan data Kemenkes yang diterima BBC News Indonesia, peningkatan mulai terlihat pada periode 15-21 Oktober.
Saat itu, kasus menyentuh angka 67, naik dari 50 pada pekan sebelumnya. Setelah itu, kasus mingguan kembali naik menjadi 71 di pekan selanjutnya.
Kasus kembali melonjak menjadi 85 di minggu selanjutnya, dan lagi-lagi meningkat ke angka 93 di periode 5-11 November.
Di pekan-pekan selanjutnya, kasus melonjak hingga menembus angka lebih dari 100, yaitu 143 (12-18 November), 136 (19-25 November), dan 237 (26 November-2 Desember).
Syahril mengatakan bahwa pada pekan ini, kasus kembali ke angka 149.
Menurutnya, kasus mendadak naik pada akhir Oktober karena muncul pula kekhawatiran terhadap Mycoplasma pneumoniae, yang menyebabkan lebih banyak warga mengikut tes ketimbang sebelumnya.
"Benar. Pemeriksaan yang dilakukan memang meningkat," ucapnya.
Masdalina juga memantau bahwa peningkatan kasus saat ini memang belum begitu "bermakna" karena gejala yang dialami pasien juga masih ringan.
Ia melihat belum ada peningkatan rawat inap di rumah sakit akibat Covid. Belum ada pula laporan warga meninggal karena terinfeksi corona belakangan ini.
"Sejauh ini kita belum mendapatkan sinyal terjadi peningkatan kasus bermakna di rumah sakit yang dilaporkan para epidemiolog di rumah sakit. Semua masih under control," katanya.
Meski demikian, Masdalina tetap memperingatkan warga dan pemerintah agar tak lengah. Menurutnya, kasus Covid diperkirakan bakal naik dalam 2-3 minggu ke depan.
Di tengah kemungkinan kenaikan kasus Covid ini, sejumlah pihak khawatir melihat warga yang seperti sudah tidak peduli, apalagi setelah Presiden Jokowi mencabut status pandemi dan membubarkan satuan tugas corona.
Sejumlah gerakan inisiatif warga, seperti Lapor Covid dan Kawal Covid, juga sudah tak begitu aktif.
Berdasarkan pantauan pada Rabu (06/12), situs Kawal Covid terakhir kali merilis pembaruan data pada 22 Januari lalu. Sementara itu, situs Lapor Covid-19 terakhir kali mengunggah kajian pada Juni lalu.
Bagaimana upaya pemerintah mengantisipasi lonjakan kasus?
Syahril membeberkan bahwa walau perhatian warga sudah tak begitu terfokus pada Covid, pihaknya tetap melakukan berbagai upaya untuk mencegah penyebaran lebih lanjut di tengah peningkatan kasus ini.
Ia menjabarkan dua upaya pemerintah. Pertama, pendekatan dan imbauan kepada masyarakat.
"Harus waspada dan peduli terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Pakai PHBS [perilaku hidup bersih dan sehat] dan menerapkan protokol kesehatan. Kalau ada yang sakit, diminta pakai masker, isolasi mandiri," ucapnya.
Kedua, pemerintah juga mewanti-wanti petugas kesehatan agar tetap waspada dan berkaca pada cara-cara penanganan kesehatan selama masa pandemi dulu.
"Selain itu, upaya juga dilakukan di pintu masuk [ke Indonesia]. Jadi kalau ada masyarakat yang pergi ke negara-negara yang sedang naik kasusnya, dia hati-hati. Kalau tidak ada urgensi, lebih baik ditunda," tutur Syahril.
Meski demikian, Masdalina mengingatkan bahwa pembatasan tak pernah menjadi solusi dalam pengendalian wabah.
Ia menganggap pemerintah seharusnya lebih berfokus pada penyediaan infrastruktur dan sarana agar masyarakat dapat mengakses layanan kesehatan, mulai dari vaksinasi hingga rawat inap.
“Ada sebagian kecil dari masyarakat yang akan terinfeksi mengalami kondisi berat. Karena itu, menyiapkan kapasitas tempat tidur yang cukup itu merupakan tanggung jawab pemerintah," katanya.
"Infrastruktur lain, seperti oksigen, obat-obatan, itu sebaiknya tidak hilang, tetap seperti ketika [varian] Delta menyerang kita."
Apa yang harus dilakukan masyarakat?
Tak hanya pemerintah, masyarakat juga memikul tanggung jawab sendiri untuk mencegah penularan dan peningkatan kasus Covid.
Masdalina mengatakan, salah satu cara terampuh adalah dengan melindungi kelompok dengan risiko tinggi, yaitu manula, orang dengan komorbid, juga bayi dan anak-anak.
"Caranya bagaimana? Tentu kita masih mengingat bagaimana kita mengendalikan Covid 2-3 tahun lalu. Protokol kesehatan masih relevan dan cukup signifikan untuk membantu," tutur Masdalina.
Ia juga mengimbau agar warga menghindari kerumunan dan berupaya menjaga jarak, terutama menjelang musim libur Natal dan Tahun Baru.
"Biasanya banyak pesta di Tahun Baru, tapi mohon untuk sementara waktu, berpesta mungkin bisa, tapi kembali ke protokol kesehatan sambil berpesta sambil pakai masker tidak akan mengurangi makna pesta itu sendiri," katanya. (Sumber: BBC Indonesia)