Suara.com - Sebuah ledakan terjadi di pusat kebugaran salah satu kampus di Kota Marawi, Provinsi Lanao del Sur, Filipina pada hari Minggu, (03/12). Kejadian itu menyebabkan empat orang jemaah dinyatakan tewas dan puluhan lainnya mengalami luka-luka.
Kejadian itu dilaporkan terjadi saat ibadah misa mingguan Katolik tengah berlangsung di pusat kebugaran kampus Mindanao State University. Akibatnya, puluhan orang berhamburan keluar dari gedung olahraga tersebut.
Lebih rinci, Komandan Militer Regional Mayor Jenderal Gabriel Viray menjabarkan bahwa para korban tewas terdiri dari tiga orang perempuan dan satu laki-laki. Selain itu, sebanyak 50 orang dilarikan ke dua rumah sakit yang berbeda untuk mendapatkan perawatan.
Dalam konferensi pers, pejabat polisi senior Emmanuel Peralta menyebut pihaknya menemukan pecahan mortir berukuran 60 mm di sekitar tempat kejadian. Dia mengaku akan melakukan penyelidikan lebih lanjut apakah ledakan itu berasal dari alat peledak improvisasi (IED) atau lemparan granat.
Baca Juga: Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr Positif Covid-19, Semua Agenda Dibuat Online
Dia menyebut bahan peledak yang dibuat dari peluru mortir ini telah digunakan dalam berbagai serangan yang dilancarkan oleh militan Islam.
Seorang saksi bernama Chris Jurado menjelaskan bahwa insiden itu terjadi saat pembacaan Alkitab Injil sesi pertama di pagi hari, yakni pukul 7.00 waktu setempat. Akibat kejadian ini, sejumlah kelas terpaksa diliburkan dan para petugas berwenang dikerahkan ke berbagai sisi seluruh kampus.
"Kejadiannya sangat mendadak, dan semua orang berhamburan. Ketika saya melihat ke belakang, ada orang yang tergeletak di lantai. Kami tidak mengetahui pasti apa yang tengah terjadi saat itu, karena semua terjadi begitu cepat," kata salah seorang saksi, Chris Jurado, kepada kantor berita AFP.
Ledakan tersebut memicu sistem peringatan keamanan di seluruh Kota Marawi, sesaat menjelang musim Natal tiba, yang biasanya ditandai dengan rentetan perjalanan, belanja dan kemacetan lalu lintas di seluruh negeri. Polisi dan pihak otoritas lainnya kini berada dalam "siaga tinggi" di kota metropolitan Manila, ungkap para pejabat keamanan.
Selain itu, pihak penjaga pantai di Filipina mengaku mereka memerintahkan semua anggotanya untuk mengintensifkan pengumpulan informasi intelijen, serta inspeksi lebih ketat terhadap kapal feri berpenumpang dan pengarahan anjing pelacak serta marinir.
Baca Juga: Filipina Selatan Diguncang Gempa Besar Beruntun, Puluhan Ribu Warga Diungsikan
"Di tengah aksi keji ini, pelayanan publik yang maksimal harus tetap diutamakan," kata Kepala Penjaga Pantai Laksamana Ronnie Gavan.
Sementara itu, kelompok yang mengaku menamakan diri sebagai Negara Islam atau Islamic State (IS) mengaku bertanggung jawab atas serangan pada Minggu pagi tersebut. Hal tersebut disampaikan pihak IS lewat saluran Telegram, dengan mengatakan bahwa anggota mereka telah meledakkan bom di kampus tersebut.
Presiden Filipina mengutuk "teroris asing”
Pascakejadian itu, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. mengutuk keras serangan tersebut lewat akun X pribadinya. Dia menyebut insiden itu sebagai "tindakan yang tak masuk akal dan paling keji yang dilakukan oleh teroris asing. Ekstremis yang menggunakan kekerasan pada orang yang tidak bersalah akan selalu dianggap sebagai musuh bagi masyarakat kita."
Namun, Marcos sendiri tidak menjelaskan alasan dia menyalahkan militan asing terhadap pengeboman tersebut. Menteri Pertahanan Gilberto Teodoro Jr. juga menyebut ada indikasi kuat "unsur asing" dalam kejadian tersebut dalam konferensi pers, tetapi dia tidak menjelaskan lebih lanjut soal hal itu.
Kepala staf militer Jenderal Romeo Brawner Jr. mengatakan kalau serangan bom itu bisa diduga sebagai serangan balasan dari kelompok militan muslim akibat serangkaian pertempuran sebelumnya. "Kami tengah mencari alasannya dari berbagai sudut pandang," kata Brawner. "Bisa jadi serangan balasan."
Terkait hal itu, dia mengutip soal terbunuhnya 11 orang tersangka dari kelompok militan Islam dalam serangan udara militer dan tembakan artileri pada hari Jumat (01/12), di dekat kota Datu Hoffer, di Provinsi Maguindanao Selatan.
Kawasan selatan Filipina sejatinya merupakan daerah bagi minoritas muslim di dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Selain itu, daerah ini juga menjadi lokasi pemberontakan separatis yang telah berlangsung selama puluhan tahun lamanya.
Kelompok pemberontak terbesar, Moro Islamic Liberation Front, telah menandatangani perjanjian damai pada tahun 2014 silam dengan pihak pemerintah, yang berarti menurunkan angka pertempuran yang telah terjadi selama puluhan tahun. Hanya saja, sejumlah kelompok yang lebih kecil menolak pakta perdamaian itu dan terus melancarkan aksi pengeboman hingga serangan lainnya sambil menghindari serangan dari pemerintah.