Suara.com - Polutan beracun yang dilepaskan selama pembakaran gas sisa produksi minyak menjadi ancaman kesehatan jutaan orang. Investigasi BBC menemukan dampak polusi beracun ini lebih buruk dari yang diperkirakan sebelumnya.
Pembakaran gas - pembakaran limbah gas selama pengeboran minyak - terjadi di seluruh Teluk, termasuk di negara tuan rumah COP28, Uni Emirat Arab (UEA).
Sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa polusi ini menyebar hingga ratusan mil, memperburuk kualitas udara di seluruh kawasan tersebut.
Penelitian ini dilakukan saat UEA menjadi tuan rumah Konferensi Iklim Global ke-28 atau COP28 PBB pada hari Kamis, 30 November 2023.
Baca Juga: JK Ajak Indonesia Bersatu dengan Negara Islam Timur Tengah Bela Palestina dari Penjajahan Israel
UAE melarang pembakaran limbah gas sejak 20 tahun lalu, tapi gambaran dari satelit menunjukkan sebaliknya.
Pembakaran limbah ini terus berlangsung, meskipun memiliki konsekuensi terhadap kesehatan penduduknya, dan negara-negara tentangga.
Analisis dari BBC Arabic menunjukkan bahwa gas-gas tersebut kini menyebar ratusan kilometer di seluruh wilayah.
Polusi hasil pembakaran gas sisa produksi dari sumur-sumur minyak di Irak, Iran dan Kuwait juga masuk subjek penelitian ini.
Semua negara yang terlibat pembakaran gas menolak berkomentar atau tidak memberikan tanggapan.
Baca Juga: Gus Miftah Puji Sosok Nikita Mirzani yang Beda dari Wanita di Timur Tengah: Buka Aurat, tapi Salat
Perusahaan-perusahaan minyak yang mengelola sumur migas di lokasi-lokasi sumber pencemaran tersebut, termasuk BP dan Shell, mengatakan bahwa mereka sedang berusaha untuk mengurangi praktik tersebut.
BBC News mengungkap dokumen-dokumen pada Senin (28/11) yang menunjukkan bagaimana UAE telah merencanakan mengambil peran sebagai tuan rumah pertemuan puncak iklim PBB sebagai kesempatan untuk mencapai kesepakatan minyak dan gas.
David R. Boyd, Pelapor Khusus PBB untuk hak asasi manusia dan lingkungan hidup mengatakan bahwa temuan BBC tersebut: "Sangat mencemaskan. Perusahaan-perusahaan minyak besar dan negara-negara di Timur Tengah telah melanggar hak asasi manusia jutaan orang karena gagal mengatasi polusi udara dari bahan bakar fosil.
"Meskipun terdapat penderitaan manusia yang luar biasa, perusahaan-perusahaan minyak besar dan negara petrostat tetap menjalankan bisnis seperti biasa dengan kekebalan hukum dan tidak ada pertanggungjawaban."
Sesak napas
Sebenarnya, pembakaran limbah gas ini dapat dihindari, dan polusi yang dikeluarkan dapat ditangkap serta digunakan menghasilkan listrik atau menghangatkan rumah. Tapi kenyataannya, pembakaran limbah gas di ladang minyak terus terjadi di seluruh dunia.
Polutan dari pembakaran limbah gas berupa PM2.5, Ozon, NO2, dan benzo(a)pyrene (BaP) pada tingkat tinggi atau paparan terus menerus telah dikaitkan dengan pelbagai penyakit.
Misalnya, stroke, kanker, asma, dan penyakit jantung, menurut pada ahli termasuk dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Baca juga:
Pembakaran gas secara global juga merupakan sumber utama gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan bumi, yaitu CO2 dan metana.
Dua dekade yang lalu, perusahaan minyak nasional UEA, Adnoc - yang berada di bawah kendali presiden pertemuan iklim COP28 tahun ini, Sultan al-Jaber - berkomitmen untuk mengakhiri apa yang disebut "pembakaran rutin".
Namun, penilaian citra satelit oleh BBC menunjukkan bahwa hal itu terjadi setiap hari di lokasi lepas pantai. UEA adalah salah satu sumber minyak terbesar untuk pasar Inggris.
Mengukur polusi udara dari pembakaran gas suar di lapangan secara andal merupakan hal yang menantang. Hanya sedikit data resmi yang dirilis terkait hal ini.
Setiap kali gas dibakar, maka ada sejumlah polusi yang dilepaskan.
Para ilmuwan lingkungan yang bekerja sama dengan BBC Arabic, menggabungkan informasi ini dengan volume gas yang dibakar - dipublikasi Bank Dunia - untuk menghitung total polusi.
Sebuah simulasi berdasarkan kondisi cuaca saat ini kemudian mengestimasikan bagaimana gas bergerak melintasi wilayah tersebut.
Permodelan tersebut menunjukkan, misalnya, bahwa tiga ladang minyak lepas pantai di UEA, telah menambah polusi udara di Dubai dan Abu Dhabi, yang jaraknya ratusan kilometer.
Penelitian menunjukkan, bahwa anak-anak yang terpapar PM2.5 dalam kadar tinggi, lebih mungkin terkena asma dan penyakit sesak napas yang terus-menerus dibandingkan mereka yang tidak terpapar.
Penyakit pernapasan adalah salah satu penyebab utama kematian di wilayah ini, dengan tingkat asma di UEA termasuk yang tertinggi di dunia.
Polusi dari Irak
Analisis BBC menunjukkan bahwa dalam kasus polusi udara di Kuwait, sebagian berasal dari suar api yang berjarak 140 km di Irak.
Irak memiliki volume pembakaran limbah gas tertinggi kedua di dunia, menurut data Bank Dunia, setelah Rusia. Irak bisa membakar hampir 18 miliar meter kubik gas per tahun.
Jumlah ini dapat memberikan listrik kepada hampir 20 juta rumah di Eropa setiap tahunnya.
Sumber tunggal pembakaran terbesar di dunia berasal dari ladang minyak raksasa Irak yang disebut Rumaila, yang dikelola BP dan Petrochina.
Ladang minyak ini terletak di Irak bagian selatan, hanya sekitar 30 km dari perbatasan dengan Kuwait.
Penelitian BBC menunjukkan bahwa satu polutan penyebab kanker yang disebut benzoapyrene, jumlahnya sepuluh kali lebih tinggi di Kuwait utara dibandingkan standar keamanan Eropa.
Baca Juga:
Di desa-desa yang dekat dengan suar api di Irak sendiri, tingkat PM2.5 juga sangat tinggi, mencapai puncaknya setiap jam sebesar 100 mikrogram per meter kubik.
Batas aman yang direkomendasikan WHO adalah 5 mikrogram per meter kubik. Bahkan 100 km jauhnya di Kota Kuwait kadarnya masih mencapai 5 hingga 10 mikrogram per meter kubik.
Badai debu yang sering terjadi kerap disalahkan sebagai sumber udara kotor yang menyelimuti negara-negara Teluk. Tetapi Dr Barrak Alahmad, peneliti di T.H. Chan School of Public Health, menemukan bahwa hal itu tidak selalu benar
Dia dan timnya menghabiskan waktu dua tahun untuk menganalisis udara dan debu di Kuwait untuk mencari tahu dari mana polusi itu berasal.
"Sebenarnya, apa yang kami temukan adalah bahwa hanya 40% yang berasal dari padang pasir.
"Sebanyak 42% berasal dari sumber-sumber yang melibatkan pembangkit listrik, dan melibatkan industri minyak, dan melibatkan semua industri yang ada di Kuwait dan di luar Kuwait."
Sementara itu, sisanya berasal dari lalu lintas kendaraan yang tinggi di negara tersebut.
"Ini adalah polusi udara buatan manusia yang bisa kita atur, kita kurangi, bahkan kita hilangkan," katanya kepada BBC.
Dr Alahmad mengatakan bahwa partikel PM2.5 masuk ke dalam aliran darah mereka yang menghirupnya dan kemudian dapat dengan cepat masuk ke dalam organ-organ tubuh mereka.
"Ginjal Anda, otak Anda, jantung Anda, di mana-mana. Hal ini dapat menyebabkan serangan asma akut. Pada titik tertentu, ini bisa sangat mengancam nyawa," katanya.
Abdulrahman Alameeri, seorang insinyur berusia 39 tahun, tinggal bersama keluarganya di Kota Kuwait.
Ia dengan kedua putranya berjuang melawan asma. Terutama Jassem yang berusia enam tahun, yang telah beberapa kali dirawat di rumah sakit.
Dia mengatakan kepada BBC: "Pertama kali [Jassem] mengalami serangan asma, dia tidak bisa bernapas. Wajahnya membiru."
Dr Akshaya Bhagavathula, profesor epidemiologi di North Dakota State University, yang tidak terlibat dalam penelitian BBC, ikut mengomentari hasil penelitian kami.
"Studi pemodelan awal ini menyoroti potensi dampak besar pembakaran gas terhadap kualitas udara di wilayah Teluk, tetapi diperlukan pengukuran dan analisis tambahan untuk mengukur beban kesehatan secara komprehensif."
Ladang minyak di Irak dan Kuwait memiliki struktur kepemilikan yang rumit. Dengan demikian memungkinkan perusahaan minyak internasional seperti Eni, Lukoil dan BP yang bekerja di sini untuk tidak melaporkan semua emisi dari kegiatan mereka.
BP adalah pemain utama di wilayah ini. BP adalah kontraktor terkemuka yang bekerja di ladang minyak Rumaila dan untuk Kuwait Oil Company yang bertanggung jawab atas 82% pembakaran di negara tersebut.
BP melaporkan bahwa mereka memperoleh keuntungan sebesar £53 juta (sekitar Rp1 triliun) tahun lalu dari operasinya di Kuwait.
Menanggapi hal ini, BP mengatakan kepada BBC: "Seperti yang telah kami nyatakan sebelumnya, BP bukan dan tidak pernah menjadi operator ladang Rumaila.
Namun demikian, kami terus secara aktif mendukung kontraktor utama dalam pekerjaannya untuk membantu operator ladang mengurangi pembakaran dan emisi."
Rumaila dioperasikan oleh Rumaila Operating Organisation yang merupakan konsorsium dari berbagai organisasi termasuk Basra Energy Company - sebuah kemitraan antara BP dan PetroChina.
Baca Juga:
Alih-alih membakar gas, sebenarnya gas tersebut dapat ditangkap dan digunakan untuk menyalakan listrik di rumah-rumah penduduk, menurut Bank Dunia.
Biaya awal untuk memasang teknologi ini cukup tinggi - Bank Dunia memperkirakan secara global akan memakan biaya sebesar US$100 miliar, setara Rp1.547,9 triliun.
Namun, jika gas tersebut ditangkap dan dijual, maka akan menghasilkan US$16 miliar, atau Rp247,6 triliun, per tahun.
Pada tahun 2013, pemerintah Irak dan perusahaan minyak dan gas raksasa Shell mendirikan Perusahaan Gas Basrah untuk menangkap gas di tiga ladang terbesar, yaitu Rumaila, Qurna, dan Zubair.
Namun sejak saat itu, tingkat pembakaran secara keseluruhan tetap stabil - dan bahkan meningkat di dua ladang, menurut data Bank Dunia.
Shell mengatakan kepada BBC: "Tujuan utama Basrah Gas Company adalah untuk menangkap gas, yang seharusnya berasak dari tiga ladang minyak raksasa yang dioperasikan oleh perusahaan-perusahaan lain.
Perusahaan ini menangkap lebih dari 63% gas dari ladang-ladang tersebut, tetapi tidak memiliki kapasitas untuk menangkap semuanya."
Lukoil mengatakan kepada BBC bahwa mereka beroperasi "sesuai dengan hukum Irak". Dan ENI mengatakan bahwa mereka "berkolaborasi untuk mengurangi dan meminimalkan pembakaran gas".
PetroChina mengatakan kepada BBC bahwa mereka bekerja sama dengan BP untuk mendukung rehabilitasi Rumaila. Dan menyatakan bahwa mereka sangat prihatin dengan masalah yang diangkat oleh BBC.
Meskipun UEA tidak memberikan tanggapan, perusahaan minyak nasionalnya, Adnoc mengatakan: "Di seluruh operasi kami, kami fokus pada tujuan kami untuk menghilangkan pembakaran rutin pada tahun 2030. Kami membakar dengan tingkat yang lebih rendah dari rata-rata industri global."
Metodologi
Kontribusi pembakaran gas sisa produksi terhadap polusi udara regional diestimasikan melalui simulasi permodelan transportasi kimia (CTM). Kualitas udara di wilayah tersebut telah direkonstruksi dengan dan tanpa emisi dari suar.
Penggunaan simulasi CTM memungkinkan untuk memperkirakan bagaimana polutan yang dipancarkan dari suar disebarkan, dan interaksinya dengan komposisi latar belakang atmosfer, produksi polutan sekunder, dan kontribusinya terhadap kualitas udara lokal.
Emisi polutan dari suar bakar perusahaan minyak diestimasi dari volume gas yang dibakar sebagaimana dilaporkan World Bank Gas Flaring Tracker, dan faktor emisi yang tersedia dalam publikasi yang telah melalui proses tinjauan pustaka dan buku panduan inventarisasi emisi referensi.
Simulasi ini terbatas pada dua periode bulanan. Satu tahun penuh akan lebih baik untuk menggambarkan secara menyeluruh dampak variabilitas cuaca terhadap komposisi atmosfer dan kualitas udara, tetapi kami percaya bahwa simulasi selama dua bulan penuh adalah pilihan yang dapat diterima untuk mendapatkan perkiraan pertama yang dapat diandalkan tentang dampak suar bakar perusahaan minyak dalam kondisi musim yang berbeda.
Komposisi atmosfer di atas area tersebut kemudian direkonstruksi dengan menggunakan sistem pemodelan tiga dimensi yang diperoleh dari penggabungan model meteorologi WRF dan FARM CTM.
Pemodelan lingkungan: AriaNet. Ulasan metodologi dari Barrak Alahmad, Dr Aidan Farrow, Dr Eric Kort, Dr Karn Vohra, Dr Akshaya Bhagavathula, Dr Ravi Ravishankara.