Di tengah situasi tersebut, survei yang sama juga menemukan bahwa 73 persen responden merasa khawatir dengan kondisi kerjanya karena tidak memiliki jaminan sosial dari tempat kerja mereka. Jika dilihat lebih dalam, hanya sebagian kecil atau kurang dari 30 persen yang memiliki jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun.
Memperkuat Pekerja Rentan

Situasi tersebut yang membuat SINDIKASI sejak tahun 2017 terus mengadvokasi jaminan sosial bagi pekerja kreatif, terutama yang memiliki hubungan kerja sebagai pekerja lepas atau freelancer. Ketiadaan jaminan sosial bagi pekerja lepas menambah pelik problem yang dihadapi pekerja masa kini.
“Kondisi ini tentu membuat teman-teman freelancer menjadi semakin rentan di tengah dunia kerja saat ini,” ujar Ikhsan.
Ketiadaan kontrak yang jelas, dan hubungan kerja yang relatif pendek ini, menempatkan pekerja kreatif, terutama yang berstatus sebagai freelancer sebagai pekerja prekariat.
Peneliti, Purusha Research Cooperative, Hizkia Yosias Polimpung pernah menulis, bahwa secara umum, prekariat banyak diartikan sebagai “pekerja yang tidak menentu”: jam kerjanya, kontrak kerjanya, jaminan kerjanya, lingkup kerjanya.
Ia merujuk buku yang ditulis oleh Guy Standing, The Precariat: the New Dangerous Class. Prekariet adalah paduan dari precarious (rentan) dan proletariat (kelas pekerja). Singkatnya, prekariat ialah pekerja yang berada pada kondisi rentan.
SINDIKASI mengawali advokasinya dengan meluncurkan kertas posisi ‘Kerja Keras Menukar Waras’ di awal tahun 2018. Dokumen ini, menurut Ikhsan, berusaha membongkar kerentanan yang dialami oleh pekerja kreatif dan media yang berdampak pada kesehatan mental. Kertas posisi ini sekaligus juga mendorong agar masalah kesehatan mental masuk ke dalam bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
Advokasi itu berbuah hasil. Di tahun yang sama, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) RI Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja. Aturan itu mengakui adanya kaitan antara lingkungan kerja dan kondisi kesehatan jiwa pekerja.
Baca Juga: Berhasil Tingkatkan Kualitas Layanan Digital, BPJamsotek Raih Penghargaan di Ajang ICXC 2023
Dalam aturan tersebut, pemerintah juga merumuskan adanya "potensi bahaya faktor psikologi" di dunia kerja yang antara lain diakibatkan ketidakjelasan pekerjaan, beban kerja berlebih, dan masalah pengembangan karier.