Merajut Jaring Pengaman Pekerja Rentan: Membangun Aksi Kolektif Perkuat Jaminan Sosial

Bimo Aria Fundrika Suara.Com
Selasa, 21 November 2023 | 13:43 WIB
Merajut Jaring Pengaman Pekerja Rentan: Membangun Aksi Kolektif Perkuat Jaminan Sosial
Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif saat aksi. (Dok. SINDIKASI/Setyo Saputro)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kerja dari terang ketemu gelap seolah menjadi karib bagi Andini (bukan nama sebenarnya). Setiap harinya ia menghabiskan 12 hingga 15 jam waktu dalam hidupnya untuk bekerja. Jumlah itu tidak termasuk waktu komuter selama satu jam untuk sekali jalan, atau butuh dua jam untuk perjalanan pulang dan pergi Andini ke tempat kerja.

Tidak jarang pula Andini menghabiskan waktu berkutat di depan laptop hingga tengah malam tiba. Padahal waktu kerja yang tertera di kontrak Andini hanya dari pukul 09.00 hingga 17.00. Tetapi, setiap kali Andini pulang sebelum pukul 21.00, berulang kali juga ia mendapat teguran dari atasannya. 

“Kok jam segini sudah pulang, memang (pekerjaan) sudah selesai?" ujar Andini menirukan atasannya saat bercerita ke Suara.com, Rabu, 15/11/2023.

Andini adalah seorang Key Opinion Leader (KOL) specialist. Ia bekerja di sebuah perusahaan creative agency di Jakarta Selatan. Sebagai KOL specialist tugasnya merentang mulai dari meriset KOL, membangun relasi, merencanakan dan menjalankan kampanye, hingga mengevaluasi kinerja KOL. 

Baca Juga: Berhasil Tingkatkan Kualitas Layanan Digital, BPJamsotek Raih Penghargaan di Ajang ICXC 2023

Pekerja melintas saat jam pulang kerja di Kawasan Sudirman - Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (2/1/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]
Pekerja melintas saat jam pulang kerja di Kawasan Sudirman - Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (2/1/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]

Dari siang hingga malam ponsel Andini tidak pernah berhenti berbunyi. Deretan notifikasi masuk tanpa henti. Setiap hari ada kurang lebih 200 KOL yang harus ia tangani. Tidak jarang waktu istirahat akhir pekannya juga terpaksa dibagi. 

Situasi jam kerja panjang, beban kerja berlebih, hingga tekanan dari atasan terus menumpuk menjadi bom waktu bagi kondisi kesehatan mental Andini yang kapan saja bisa meledak. 

Semakin hari, Andini mulai tidak fokus bekerja. Tangannya bergetar dan tak berhenti menangis setiap mendapat tambahan pekerjaan baru dari atasannya. Dalam kondisi tertentu napasnya juga kerap terengah tidak beraturan. Dadanya sesak dan nyeri. Ia kelelahan dan kurang istirahat. 

“Sering banget anak-anak (pekerja) kalau sakit enggak disuruh pulang malah disuruh semangat untuk kerja sesuai target,” ujar Andini. 

Situasi tadi terus berulang hingga akhirnya Andini memutuskan memeriksakan diri ke profesional. Ia pun dirujuk ke Poli Jiwa di salah satu rumah sakit di Jakarta. Dokter menyarankannya untuk mendapatkan perawatan selama 14 hari. Dalam rentang waktu itu pula Andini tidak diperbolehkan memegang ponsel, ataupun laptop. 

Baca Juga: BPJamsostek Bersama Kemenpora Gencarkan Perlindungan Masa Depan Pejuang Olahraga

Namun, alih-alih peduli akan kondisi yang dialami Andini, perusahaan malah memutus hubungan kerjanya. Andini di-PHK. Kondisi kesehatan mentalnya dijadikan alasan hubungan kerjanya berakhir. Atasannya bahkan marah lantaran Andini tidak memberitahukan masalah kejiwaan yang ia alami. Padahal besar kemungkinan bahwa kondisi mental yang dialami oleh Andini erat kaitannya dengan kondisi kerjanya sehari-hari. 

“Dia bilang, dia enggak mau menerima orang dengan masalah kejiwaan, karena katanya manusia lemah kalau sampai punya masalah kejiwaan,” katanya.

Akhirnya ia diputus satu bulan lebih awal sebelum kontraknya sebagai Pekerja Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Andini bahkan tidak mendapatkan kompensasi apapun dari perusahaan tempatnya bekerja. 

Andini kala itu tidak tahu bahwa BPJS Ketenagakerjaan bisa mengover perawatan dari masalah kejiwaan yang ia alami. Perusahaan juga tidak pernah menginformasikan hal itu kepadanya.

Gunung Es Masalah Kesehatan Mental Pekerja Kreatif

Ilustrasi Depresi (pexels/Liza Summer)
Ilustrasi Depresi (pexels/Liza Summer)

Andini jelas tidak sendiri. Masalah kesehatan mental sendiri memang banyak ditemukan pada pekerja media dan industri kreatif.  

Dalam riset ‘Kerja Layak: Survei tentang Kondisi Pekerja Media dan Industri Kreatif di Indonesia’ tahun 2021, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) menemukan bahwa sebanyak 13,2 persen pekerja di survei ini mengaku memiliki disabilitas. Sebagian besar di antaranya mengalami disabilitas mental, yaitu gangguan kecemasan (76 persen), depresi (48 persen), bipolar (16 persen), dan gangguan kepribadian (16 persen).

Survei tersebut juga menemukan bahwa rata-rata jumlah hari kerja responden adalah 21 hari dalam sebulan dengan 5 hari kerja dalam seminggu. Meskipun begitu, persentase responden dengan jumlah hari kerja lebih dari 22 hari per bulan cukup besar, yakni 41,2 persen.  Sementara, rata-rata jam kerja responden dalam seminggu adalah 44 (44,1) jam.

Padahal, bila merujuk pada Pasal 77 ayat (1) dan (2) UU No. 13/2003 jo. UU No. 21/2020 dan pasal 21 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 35/2021, batas waktu kerja yang diatur adalah 7-8 jam dalam sehari untuk 6-5 hari kerja atau 40 jam kerja dalam seminggu.

Ini menunjukkan bahwa rata-rata responden bekerja di atas batas wajar yang diatur oleh pemerintah yakni 40 jam per pekan.

“Temuan ini mengkonfirmasi data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut sebanyak 31,98 persen pekerja kreatif mengalami overwork karena bekerja lebih dari 48 jam per pekan,” ujar Majelis Pertimbangan Organisasi SINDIKASI, Ikhsan Raharjo. 

Di tengah situasi tersebut, survei yang sama juga menemukan bahwa 73 persen responden merasa khawatir dengan kondisi kerjanya karena tidak memiliki jaminan sosial dari tempat kerja mereka. Jika dilihat lebih dalam, hanya sebagian kecil atau kurang dari 30 persen yang memiliki  jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun.

Memperkuat Pekerja Rentan

Aksi massa di MH Thamrin. (Suara.com/Bimo Aria Fundrika)
Aksi massa di MH Thamrin. (Suara.com/Bimo Aria Fundrika)

Situasi tersebut yang membuat SINDIKASI sejak tahun 2017 terus mengadvokasi jaminan sosial bagi pekerja kreatif, terutama yang memiliki hubungan kerja sebagai pekerja lepas atau freelancer. Ketiadaan jaminan sosial bagi pekerja lepas menambah pelik problem yang dihadapi pekerja masa kini. 

“Kondisi ini tentu membuat teman-teman freelancer menjadi semakin rentan di tengah dunia kerja saat ini,” ujar Ikhsan. 

Ketiadaan kontrak yang jelas, dan hubungan kerja yang relatif pendek ini, menempatkan pekerja kreatif, terutama yang berstatus sebagai freelancer sebagai pekerja prekariat. 

Peneliti, Purusha Research Cooperative, Hizkia Yosias Polimpung pernah menulis, bahwa secara umum, prekariat banyak diartikan sebagai “pekerja yang tidak menentu”: jam kerjanya, kontrak kerjanya, jaminan kerjanya, lingkup kerjanya. 

Ia merujuk buku yang ditulis oleh Guy Standing, The Precariat: the New Dangerous Class. Prekariet adalah paduan dari precarious (rentan) dan proletariat (kelas pekerja). Singkatnya, prekariat ialah pekerja yang berada pada kondisi rentan.

SINDIKASI mengawali advokasinya dengan meluncurkan kertas posisi ‘Kerja Keras Menukar Waras’ di awal tahun 2018. Dokumen ini, menurut Ikhsan, berusaha membongkar kerentanan yang dialami oleh pekerja kreatif dan media yang berdampak pada kesehatan mental. Kertas posisi ini sekaligus juga mendorong agar masalah kesehatan mental masuk ke dalam bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). 

Advokasi itu berbuah hasil. Di tahun yang sama, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) RI Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja. Aturan itu mengakui adanya kaitan antara lingkungan  kerja dan kondisi kesehatan jiwa pekerja. 

Dalam aturan tersebut, pemerintah juga merumuskan adanya "potensi bahaya faktor psikologi" di dunia kerja yang antara lain diakibatkan ketidakjelasan pekerjaan, beban kerja berlebih, dan masalah pengembangan karier.

Di tahun 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja yang didalamnya memasukkan ‘gangguan mental dan perilaku’ sebagai penyakit akibat kerja. 

Namun, dalam prakteknya masih banyak pekerja, terutama pekerja lepas yang tidak bisa mendapatkan manfaat dari aturan itu. Ikhsan mengatakan, situasi itu terjadi karena banyak pekerja lepas atau freelancer yang tidak tergabung atau belum terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. 

“Kemudian SINDIKASI mempelajari tentang BPJS Ketenagakerjaan dan akhirnya menemukan ada satu program yang kelihatannya ini cocok dan relevan untuk membantu teman-teman freelancer agar bisa menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan dan mendapat jaminan sosial,” kata Ikhsan. 

Program yang dimaksud ialah kepesertaan Bukan Penerima Upah (BPU) dari BPJS Ketenagakerjaan. Kepesertaan BPU diperuntukkan bagi pekerja yang bekerja secara mandiri seperti freelancer hingga mitra ojol. 

Aksi Kolektif Perkuat Jaminan Sosial Pekerja Rentan

Di awal tahun 2022, lanjut Ikhsan, SINDIKASI juga bekerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan dalam program anggota Penggerak Jaminan Sosial Indonesia (Perisai). Lewat program ini ada beberapa perwakilan SINDIKASI yang didaftarkan sebagai agen Perisai. 

Melalui program ini, agen Perisai dari SINDIKASi menerima pekerja media dan kreatif yang berstatus sebagai freelancer untuk mendaftarkan secara individual. Ikhsan menegaskan, salah satu yang menjadi prioritas SINDIKASI kemudian ialah menjangkau kepesertaan yang lebih luas menggunakan strategi kolektif. Salah satunya dengan melalui perundingan perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang mempekerjakan pekerja lepas atau freelancer

“Seperti layaknya Serikat Pekerja di manapun, salah satu metode berjuangnya kan adalah dengan menggunakan perjanjian kerja bersama. Dan ternyata ini juga bisa disinergikan dengan tujuan untuk meningkatkan cakupan atau kepesertaan dari freelancer,” kata Ikhsan. 

Langkah itu diawali dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)antara SINDIKASI dengan Manajemen PT Mitra Konten Komunikasi, atau lebih dikenal dengan Project Multatuli. 

Dengan adanya PKB, semua freelancer yang bekerja untuk Project Multatuli akan mendapat perlindungan jaminan sosial dari Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Para freelancer akan mendapat Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian minimal untuk tiga bulan setiap kali ia menerima pekerjaan dari Project Multatuli.

Menurut Manajer Tim PT Mitra Konten Komunikasi Nurdiyansah Dalidjo, iuran jaminan sosial untuk freelancer sebesar Rp 50.400 relatif murah dibandingkan dengan manfaat perlindungan jaminan sosial selama tiga bulan yang didapatkan freelancer.

“Pertama dari sisi pekerja ya biar bagaimanapun pekerja lepas atau kontributor jurnalis adalah pekerja juga gitu yang perlu diperhatikan aspek keamanannya. Sama yang kedua dari sisi organisasi atau perusahaan mekanismenya ada dan itu nggak mahal jadi ya udah kenapa enggak gitu kan mengurangi resiko, coba kalau pakai asuransi swasta itu berapa?” ujar Nurdiyansah. 

Kesepakatan ini juga diklaim sebagai PKB pertama di Indonesia yang melindungi kepentingan freelancer pada industri media dan kreatif. Selama kurang lebih satu tahun, saat ini telah ada sekitar 200 pekerja lepas atau freelancer yang tergabung dengan BPJS Ketenagakerjaan melalui agen Perisai SINDIKASI. 

Salah satunya ialah Selira Dian. Ia merupakan salah satu jurnalis lepas di Project Multatuli yang telah didaftarkan BPJS Ketenagakerjaan lewat mekanisme tersebut. 

Saat ini Dian tengah menyusun tulisan tentang konflik agraria yang dialami oleh masyarakat di kawasan Kampung Dadap, Tangerang, Banten. Jarak tempuh yang cukup jauh dari tempat Dian tinggal. Situasi ini membuat risiko mengalami kecelakaan kerja, juga jauh lebih besar. 

Terlebih proyek reklamasi Pantai Dadap yang dimulai sejak 2004 silam juga berdampak pada wilayah tempat liputan Dian. Salah satunya ialah banjir rob yang kerap melanda perkampungan warga Kampung Dadap yang makin tak terkendali. Banjir rob itu juga bisa datang tiba-tiba. 

Dengan didaftarkan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan program (BPU), Dian merasa lebih tenang dalam menjalankan liputannya. 

“Tentu (merasa lebih aman), setidaknya aku punya basic proteksi selama peliputan,” kata Dian. 

Usulan Perbaikan

Hingga kini, menurut Ikhsan, belum ada dari peserta BPJS Ketenagakerjaan yang mendaftar melalui agen Perisan SINDIKASi yang melakukan klaim. Meski demikian, Ikhsan punya catatan sendiri dalam hal penerapan peraturan pendukung yang ada. 

Salah satunya terkait dengan Standar Opersional Prosedur klaim manfaat jaminan kecelakaan kerja yang mengharuskan pekerja yang mengalami melapor dalam kurun waktu 2x24 jam setelah kecelakaan terjadi.

"Apabila kasusnya kecelakaan fisik tentu ini penyakit fisik tentu ini relatif lebih mudah untuk diukur kapan penyakit itu muncul, kapan kecelakaan itu terjadi dengan waktu pelaporan," ujarnya. 

Dok: BPJS Ketenagakerjaan
Dok: BPJS Ketenagakerjaan

Sementara dalam hal isu kesehatan mental realtif lebih kompleks dalam menentukan kejadian penyakit itu muncul. Terlebih banyak perusahaan yang juga tidak melakukan pemeriksaan kesehatan pada saat awal pekerja mulai bekerja.

"Jadi saya kira perlu ada sebuah mekanisme yang lebih longgar, dan itu tentu harus melibatkan, mungkin psikolog, yang memiliki ilmu yang relevan dalam hal ini untuk bisa sama-sama mengembangkan dan menyempurnakan mekanisme praktis di lapangan dalam hal pelaporan terkait kesehatan mental di dunia kerja," kata Ikhsan.

Di samping itu, Ikhsan juga merasa perlu ada sosialisasi yang masif terhadap staf BPJS Ketenagakerjaan terkait penyakit akibat kerja, khususnya untuk isu kesehatan mental. Kurangnya pemahaman petugas di lapangan, lanjut Ikhsan, akan menyulitkan saat pekerja ingin melakukan klaim manfaat.

Catatan lain Ikhsan, saat ini BPJS Ketenagakerjaan hanya memandang agen Perisai bisa disebut produktif hanya jika bisa mendapatkan peserta baru sebanyak-banyaknya. Padahal, menurutnya penting untuk memastikan kualitas dan keberlanjutan dari peserta jaminan sosial tersebut. 

"Bukan hanya dalam kuantitas jumlah kepesertaan yang meningkat, tapi juga kualitasnya."

Ia menegaskan bahwa pada prinsipnya jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan ialah hak pekerja.

"Sehingga mereka kalau bisa bagaimana caranya biar pekerja yang BPU ini tidak mengeluarkan sendiri iuran dari upah, melainkan ditanggung oleh pemberi kerja," ujarnya. 

"Jadi saya kira ke depan gitu ya serikat pekerja itu memiliki fungsi yang sangat strategis, memiliki tempat yang sangat strategis untuk bisa membantu negara dalam memperluas kepesertaan jaminan sosial, khususnya di kalangan pekerja non-permanen." 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI