Suara.com - Keputusan Majelis Mahkamah Konstitusi (MKMK) dengan hakim terlapor Anwar Usman dianggap sebagai dasar bahwa Pasal 169 Huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 sebagaimana dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Hal tersebut disampaikan kuasa hukum Brahma Aryana selaku pemohon yaitu Viktor Santoso Tandiasa dalam sidang gugatan Pasal 169 Huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sebagaimana dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan agenda perbaikan permohonan.
Menurut dia, pasal a quo dalam perkara ini bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945. Pada Pasal 1 Ayat (3), disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara hukum sehingga kemerdekaan kekuasaan kehakiman dijamin dalam Pasal 24 Ayat (1).
"Kemerdekaan kekuasaan kehakiman dimaksud adalah badan peradilan harus bebas dari kekuasaan lembaga negara manapun, in casu eksekutif maupun legislatif, terutama dalam membuat putusan-putusannya karena putusan pengadilan adalah urat nadi dari lembaga peradilan itu sendiri di mana tempat seluruh elemen negara menempatkan seluruh harapannya untuk keadilan," kata Viktor di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (20/11/2023).
Namun, dia menilai Putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 diambil dengan pelanggaran etik sembilan hakim konstitusi dan pelanggaran hakim berat oleh mantan Ketua MK Anwar Usman sebagaimana putusan MKMK nomor 2/MKMK/L/11/2023.
Viktor menyoroti sikap Anwar yang tidak mundur dari penanganan perkara batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang melibatkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka.
"Terjadi pelanggaran etik berat seperti hakim terlapor tidak mengundurkan diri dari proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan no 90/2023. Kedua, hakim terlapor terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan keputusan nomor 90/2023," ujarnya.
"Artinya, rumusan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana telah dimaknai MK dalam putusan 90/2023 dihasilkan dari adanya intervensi pihak luar dalam proses pengambilan keputusan yang masuk atau dibukakan pintu oleh hakim terlapor dalam putusan MKMK no 2/2023,” tambahnya.
Selain itu, putusan tersebut juga dianggap lahir dari konflik kepentingan karena meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto meskipun belum berusia 40 tahun.
Baca Juga: Survei LPI: Elektabilitas Ganjar-Mahfud Kalahkan Prabowo-Gibran Usai Putusan MKMK
"Terlebih lagi, dalam putusan MKMK no 2/2023, hakim terlapor terbukti berpihak pada salah satu calon wakil presiden yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan memberikan ceramah mengenai kepemimpinan usia muda di Universitas Islam Sultan Agung Semarang berkaitan erat dengan substansi perkara menyangkut syarat usia capres cawapres," katanya.