Tetapi Israel dan Barat khawatir oleh doktrin Hamas yang tak mau mengakui Israel.
Padahal, pandangan politik Hamas itu adalah antitesis dari kemandulan Barat dan kebebalan Israel dalam mengimplementasikan komitmen-komitmen internasional, termasuk Perjanjian Oslo 1993.
Perjanjian 1993 itu mengakhiri gerakan perlawanan bersenjata Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Melalui perjanjian itu, PLO mengakui eksistensi Israel, dan sebaliknya semua pihak sepakat membentuk Negara Palestina merdeka di Jalur Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur, pada 1999.
Ternyata sampai tahun 1999, negara Palestina tak kunjung berdiri. Sampai pemimpin PLO, Yasser Arafat, wafat pada 2004, negara Palestina tak berhasil diwujudkan.
Wajar jika rakyat Palestina kecewa berat, termasuk warga Gaza. Sikap mereka semakin keras, sampai menentang eksistensi Israel.

Gerakan Intifada adalah embrio yang membesarkan Hamas. Dan ketika pengaruh Hamas kian besar, Israel dan Barat merancang cara melenyapkannya dari proses politik, lewat pemilu 2006. Ironisnya, Hamas malah memenangkan pemilu itu.
Begitu menang pemilu, Hamas langsung diisolasi Israel. Setahun kemudian Jalur Gaza diblokade, setelah Fatah yang menjadi "sangat Hamas" terusir dari Gaza, dan kemudian memusatkan kekuasaan di Tepi Barat.
Blokade itu memaksa Hamas mencari cara untuk menunjukkan kepada warga Gaza bahwa mereka mampu memerintah Gaza. Bawah tanah pun menjadi pilihan. Sejak itu terowongan bawah tanah dibangun besar-besaran di Gaza.
Baca Juga: Husein Gaza Heran Israel Ngaku Punya Denah RS Indonesia Tahun 2010, Padahal Belum Dibangun
Gaza pun lambat laun bisa membangun diri. Hamas menjadi kian populer, sampai Tepi Barat. Mereka dinilai efektif menjalankan pemerintahan Palestina di Gaza.