Suara.com - AWAL Institute menyelenggarakan seminar pertama dengan tema 'efektivitas LHKPN dalam pemberantasan korupsi di Indonesia' untuk memberikan informasi tentang keberadaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dalam memberantas korupsi di Indonesia dengan melihat data harta kekayaan yang dilampirkan langsung oleh para pejabat di Indonesia.
Aktivis HAM yang juga pendiri Lokataru, Haris Azhar, mengatakan LHKPN merupakan satu informasi diantara sejumlah informasi. Namun sumber informasi ini tidak serta merta bisa diandalkan yang mencakup semua aspek kekayaan yang dimiliki seorang pejabat.
"Buat kita semua sebagai masyarakat supaya kita tau tapi tidak bisa hanya mengandallan LHKPN, gitu. Kenapa karena sumber kekayaaan itu, ada sumber kekayaan yang dimiliki karena keturunan bacalah undang-undang tentang perkawinan. Ada harta pemberian dari orang tua, misalnya waktu anda jadi pejabat belum dibagi waris keluarga tapi begitu jadi pejabat institusi ada pembagian waris. Ada lagi namanya harta gono gini karena perkawinan," katanya.
Ia menyampaikan fasilitas LHKPN bukan buat masyarakat (warga sipil) tetapi fasilitas akuarium bagi pejabat. "Pejabat mau dibilang baik ya benar disini. Karena kita sebagai warga, sebagai masyarakat kita bisa dan boleh melihat dengan cara yang lain. Dan kita gak punya kewajiban untuk memberikan informasi di LHKPN. Kita harus menikmati kepinteran, keberanian, bersihnya si pejabat disini. Jadi saya mau menekankan, kita jangan mau di seret di pertarungan ini," tuturnya.
"Oligarki itu para politisi yang berbisnis, lara pebisnis yang berpolitik. Dan karenanya ada pertukaran informasi, ada pertukaran perencanaan kebijakan negara, ada pertukaran tentang rencana pengadaan buat pelaksanaan kebijakan negara. Nah itu semua, penerimaan manfaat dan peraktek itu yang mana para penerimanya adalah pejabat negara yang saya sangat jarang sekali menemukan kualifikasi penerimaan manfaatnya di laporkan dalam format ini (LHKPN)," imbuhnya.
Ia juga mengungkapkan LHKPN memiliki kerumitan tersendiri yang diselesaikan dan ditampung lewat praktik-praktik korporasi. "Korporasi aset, yang sebetulnya mereka mewadahi praktek bisnis yang macam-macam ada soal tambang, karet, macam-macamlah," ungkapnya.
Haris juga menjelaskan LHKPN tidak berbanding lurus dengan perkembangan potensi atau praktik kejahatan. Karena kejahatan di sektor keuangan atau perkembangan di industri keuangan menurutnya jauh lebih dahsyat dari pada di LHKPN, yang sebetulnya di sektor negara tidak bisa dipublikas
"Misalnya PPHK, lalu sistem pemantauan pajak itu contoh yang gampang, OJK juga. Itu jauh lebih mumpuni untuk mendeteksi tentang sirkulasi ekonomi tadi. Jadi yang harus dipikirkan bagaimana membebaskan informasi soal pajak,OJK, PPHK, buat masyarakat," jelasnya.
Ia juga menambahkan LHKPN gak kompetitif untuk membuka kejahatan para pejabat dan menjadi pilihan satu diantara yang lain. "Dan yang kita baca ya statis di LHKPN sebenarnya kalau baca, banyak informasi yang meragukan, lucu-lucu. Saya ingin menegaskan LHKPN ini hanya, tarulah tembok untuk kita adu dengan informasi lain. Tidak ada standar buat warga untuk mensejajarkan dengan informasi yang ada disitu," tambahnya.
Baca Juga: Fakta-fakta Korupsi APD Kemenkes, Rugikan Negara Rp 3 T Selama Pandemi Covid-19
Dalam kesempatan yang sama, Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekaligus Sekjen IM57+ Institute, Lakso Anindito menilai LHKPN sebenarnya bukan untuk menunjukkan sumber utama untuk dijadikan satu informasi mengenai kekayaan pejabat, tapi LHKPN itu base lite yang menjadi referensi bagi publik untuk bisa melihat para pejabat mencantumkan sumber harta kekayaan di LHKPN itu sesuai.