Curhat Saldi Isra Dan Arief Hidayat Tak Tahan Dengan Masalah Internal Hakim Konstitusi

Jum'at, 03 November 2023 | 06:31 WIB
Curhat Saldi Isra Dan Arief Hidayat Tak Tahan Dengan Masalah Internal Hakim Konstitusi
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Saldi Isra. [ANTARA/Gilang Galiartha]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie mengungkapkan, hakim Saldi Isra dan Arief Hidayat tidak tahan dengan permasalahan yang ada di internal hakim konstitusi.

Karenanya, kedua hakim itu mencurahkan isi hatinya ke dalam dissenting opinion atau perbedaan pendapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres dan cawapres.

"Baik Prof Arief maupun Prof Saldi kayaknya enggak kuat hadapi problem internal. Itu terekspresikan dalam pendapat hukumnya," kata Jimly di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/11/2023).

Dissenting opinion Saldi dan Arief dijadikan polemik oleh sejumlah pelapor karena dianggap tidak bersifat substantif terhadap perkara.

Baca Juga: Sejumlah Hakim MK Menjalani Sidang Etik di Tengah Mencuatnya Nama Gibran Sebagai Cawapres Prabowo

"Yang dipersoalkan adalah dissenting opinion, kan isinya bukan dissenting? Isinya curhat. Nah ini kan sesuatu yang baru tentang bagaimana sebaiknya kita membangun tradisi dissenting opinion," tutur Jimly.

Dissenting Opinion Saldi dan Arief

Sebelumnya, Saldi Isra mengaku bingung dengan putusan a quo MK yang dinilai tidak konsisten. Pasalnya, MK menolak gugatan soal batas usia minimal capres-cawapres pada perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023.

Namun, MK mengabulkan sebagian permohonan mahasiswa asal Surakarta Almas Tsaibbirru Re A dalam perkara 90/PUU-XXI/2023 sehingga orang yang pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah melalui pilkada boleh menjadi capres dan cawapres meski berusia di bawah 40 tahun. Terlebih, Saldi menyoroti putusan yang berbeda itu dibacakan oleh MK dalam satu hari yang sama.

“Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini. Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017 atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa ‘aneh’ yang ‘luar biasa’ dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar,” kata Saldi di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).

Baca Juga: Besok, MKMK akan Beri Anwar Usman Kesempatan untuk Bela Diri

“Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya danya dalam sekelebat,” tambah dia.

Dia menegaskan MK dalam putusan perkara 29-51-55/PUU-XXI/2023 telah menyatakan secara eksplisit, lugas, dan tegas bahwa norma pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.

“Padahal, sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang,” ucap Saldi.

Pada kesempatan yang sama, Arief menyatakan dissenting opinion yang tidak jauh berbeda. Dia juga sempat membahas absennya Anwar Usman dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).

Anwar diketahui absen dalam RPH yang membahas perkara 29-51-55/PUU-XXI/2023 tetapi hadir dalam RPH yang membahas perkara 90-91/PUU-XXI/2023.

Arief mengaku sempat bertanya kepada Saldi perihal absennya alasan Anwar absen dalam RPH pertama. Saldi menjawab bahwa Anwar tidak hadir karena mengkhawatirkan konflik kepentingan dalam memutus perkara batas usia minimal capres-cawapres.

"Wakil Ketua (Saldi Isra) kala itu menyampaikan bahwa ketidakhadiran ketua dikarenakan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan (conflict of interest) disebabkan isu hukum yang diputus berkaitan erat dengan syarat usia minimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden di mana kerabat ketua berpotensi diusulkan dalam kontestasi pemilu presiden 2024 sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden oleh salah satu partai politik," tutur Arief.

Putusan MK

Laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim disampaikan sejumlah pihak lantaran MK mengabulkan sebagian gugatan dalam perkara 90/PUU-XXI/2023.

Dalam putusan itu, MK memperbolehkan orang yang berusia di bawah 40 tahun menjadi capres atau cawapres jika pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah melalui pilkada.

"Mengadili, satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu nomor 182 tambahan lembaran negara nomor 6109 yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang memiliki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah," kata Ketua MK Anwar Usman, Senin (16/10/2023).

Salah satu pertimbangan hakim Konstitusi menerima permohonan tersebut ialah karena banyak anak muda yang juga ditunjuk sebagai pemimpin.

Putusan tersebut mendapatkan banyak reaksi masyarakat lantaran dianggap membuka jalan bagi keponakan Anwar, yaitu Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapres.

Adapun mahasiswa asal Surakarta, Almas Tsaibbirru Re A selaku pemohon dalam perkara itu juga memiliki pandangan tokoh ideal sebagai pemimpin bangsa Indonesia yakni mengidolakan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka periode 2020-2025.

Sebab, dia menilai pada masa pemerintahannya, Gibran mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Surakarta sebanyak 6,23 persen padahal pada saat awal menjabat sebagai Wali Kota Surakarta pertumbuhan ekonomi Surakarta justru sedang minus 1,74 persen.

Terlebih, pemohon menganggap Wali Kota Surakarta sudah memiliki pengalaman membangun dan memajukan Kota Surakarta dengan kejujuran, integritas moral dan taat serta patuh mengabdi kepada kepentingan rakyat dan negara.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI