Pelapor Anwar Usman Tuding MKMK Dikendalikan Dari Istana: Sudah Tak Mandiri Lagi

Rabu, 01 November 2023 | 09:30 WIB
Pelapor Anwar Usman Tuding MKMK Dikendalikan Dari Istana: Sudah Tak Mandiri Lagi
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie (kiri) bersama anggota MKMK Bintan R. Saragih (kanan) saat memimpin sidang pendahuluan dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi di Gedung MK, Jakarta, Selasa (31/10/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Koordinator Perekat Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus yang merupakan salah satu pelapor Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi mengaku keberatan dengan rencana MKMK untuk memutus perkara dugaan pelanggaran hakim pada 7 November 2023.

Pasalnya, MKMK memiliki masa bakti selama satu bulan hingga 24 November 2023 untuk memeriksa dan mengadili perkara ini.

Untuk itu, Petrus menilai MKMK tidak memberikan kesempatan secara maksimal kepada pihak pelapor untuk membuktikan laporannya.

“Nampaknya setelah Mahkamah Konstitusi dirusak, kini MKMK pun dicoba dirusak, MKMK sudah tidak mandiri lagi dan sudah dikendalikan oleh proses politik di KPU bahkan dari Istana,” kata Petrus dalam keterangannya, Rabu (1/11/2023).

Baca Juga: Berlinangnya Air Mata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam Sidang Majelis Kehormatan MK

“Kasus nepotisme Anwar Usman yang sekarang disebut mega skandal, yang menimpa MK saat ini, seharusnya dijadikan momentum perbaikan penegakan hukum, terutama apa yang terjadi saat ini di MK karena faktor nepotisme telah merusak sendi-sendi penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan adil sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa,” lanjut dia.

Dia meminta Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie untuk memeriksa dan mengadili perkara dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi tanda dipengaruhi tahapan Pemilu 2024 di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Putusan MKMK

Sebelumnya, Jimly mengungkapkan pihaknya akan memutus perkara dugaan pelanggaran etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi dalam waktu dekat.

Perkara yang berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 itu rencananya akan diputus pada 7 November 2023.

Baca Juga: MKMK Buka Peluang Ubah Putusan MK yang Beri Karpet Merah Gibran Jadi Cawapres, Tapi Ada Syaratnya

"Tanggal 8 itu kan kesempatan terakhir untuk perubahan paslon, kan begitu. Kami mendiskusikannya. Kesimpulannya adalah kami penuhi permintaan itu," kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (30/10/2023).

"Maka, kami rancang putusan ini harus sudah selesai tanggal 7 karena kami ingin memastikan jangan sampai timbul kesan misalnya ada orang menganggap bahwa sengaja ini dimolor-molorin," tambah dia.

Selain itu, dia juga menyebut putusan segera ini juga diperlukan untuk kepastian hukum dan keadilan dalam situasi politik saat ini.

"Ini juga untuk keperluan memastikan supaya masyarakat politik kita ini mendapatkan kepastian hukum dan keadilan," ujar Jimly.

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie (tengah) bersama anggota MKMK Bintan R. Saragih (kanan) dan Wahiduddin Adams saat memimpin sidang pendahuluan dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi di Gedung MK, Jakarta, Selasa (31/10/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie (tengah) bersama anggota MKMK Bintan R. Saragih (kanan) dan Wahiduddin Adams saat memimpin sidang pendahuluan dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi di Gedung MK, Jakarta, Selasa (31/10/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]

Dia mengakui rencana putusan tersebut memang membuat pihaknya melakukan sidang lebih cepat dan tetap memastikan asas kehati-hatian dalam memutus perkara.

"Sebetulnya ini sudah terlalu cepat ini bekerjanya itu. Tugas kami 30 hari harusnya, cuma ada yang nanti bisa menganggap waduh ini sengaja dimolor-molorin," tandas Jimly.

Diketahui, MK membentuk MKMK secara Ad Hoc lantaran adanya sejumlah laporan perihal putusan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan pihaknya menerima setidaknya sejumlah laporan perihal putusan tersebut dan sembilan hakim konstitusi menjadi terlapor.

"Perihal yang mereka ajukan adalah dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim," kata Enny di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (23/10/2023).

Untuk itu, MKMK dirasa perlu untuk dibentuk sebagai pihak yang akan memeriksa dan mengadili hakim konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.

"MKMK terbentuk karena memang salah satunya karena perintah dari undang-undang untuk pembentukan MKMK sebagai bagian dari kelembagaan yang memang dimintakan oleh undang-undang, khususnya pasal 27A untuk kemudian memeriksa, termasuk kemudian di dalamnya mengadili kalau memang terjadi persoalan yang terkait dengan laporan dugaan pelanggaran, termasuk juga kalau ada temuan di situ," tutur Enny.

Sekadar informasi, laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim ini disampaikan sejumlah pihak lantaran MK mengabulkan sebagian gugatan dalam perkara 90/PUU-XXI/2023.

Dalam putusan itu, MK memperbolehkan orang yang berusia di bawah 40 tahun menjadi capres atau cawapres jika pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah melalui pilkada.

"Mengadili, satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu nomor 182 tambahan lembaran negara nomor 6109 yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang memiliki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah," kata Ketua MK Anwar Usman, Senin (16/10/2023).

Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (31/10/2023). [Suara.com/Dea]
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (31/10/2023). [Suara.com/Dea]

Salah satu pertimbangan hakim Konstitusi menerima permohonan tersebut ialah karena banyak anak muda yang juga ditunjuk sebagai pemimpin.

Putusan tersebut mendapatkan banyak reaksi masyarakat lantaran dianggap membuka jalan bagi keponakan Anwar, yaitu Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapres.

Adapun mahasiswa asal Surakarta, Almas Tsaibbirru Re A selaku pemohon dalam perkara itu juga memiliki pandangan tokoh ideal sebagai pemimpin bangsa Indonesia yakni mengidolakan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka periode 2020-2025.

Sebab, dia menilai pada masa pemerintahannya, Gibran mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Surakarta sebanyak 6,23 persen padahal pada saat awal menjabat sebagai Wali Kota Surakarta pertumbuhan ekonomi Surakarta justru sedang minus 1,74 persen.

Terlebih, pemohon menganggap Wali Kota Surakarta sudah memiliki pengalaman membangun dan memajukan Kota Surakarta dengan kejujuran, integritas moral dan taat serta patuh mengabdi kepada kepentingan rakyat dan negara.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI