Suara.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman tidak lagi layak untuk menjadi hakim konstitusi.
Hal tersebut disampaikan Kurnia menanggapi putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap memberi hak istimewa kepada putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi calon wakil presiden (cawapres).
Kurnia menilai argumentasi Anwar yang menyebut bahwa putusan tersebut tidak terkait dengan individu tertentu sebagai pernyataan yang konyol.
"Kalau dibaca jelas permohonan tersebut, secara spesifik menyebutkan nama Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang mana itu merupakan keponakan dari Anwar Usman," kata Kurnia di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (26/10/2023).
Untuk itu, Anwar diduga melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Bahkan, Kurnia menilai Anwaf tidak lagi relevan menjadi hakim konstitusi.
"Bagi kami, sosok seperti Anwar Usman itu tidak lagi layak menjadi hakim konstitusi, apalagi ketua MK," tegas Kurnia.
"Salah satu syarat menjadi hakim konstitusi adalah negarawan yang mana ia harus memahami seluruh peraturan dan juga nilai etik," tambah dia.
Sebelumnya, 16 guru besar hukum tata negara dan hukum administrasi negara dari sejumlah perguruan tinggi yang tergabung dalam Constitutional dan Administrative Law Society (CALS) melaporkan Anwar Usman ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Para pelapor diwakili oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan IM57.
Adapun deretan guru besar yang melaporkan Anwar Usman ke MKMK ialah Denny Indrayana, Hesti Armiwulan, Muchamad Ali Safaat, Susi Dwi Harijanti, Aan Eko Widiarto, Auliya Khasanofa, Dhia Al Uyun, dan Herdiansyah Hamzah.